Senin, 10 Februari 2014

Inisial Mereka

Islamedia - Hari ahad pekan ini, kembali agenda ke agenda rutinan taklim untuk adik-adik tingkat sekolah dan kampus. Agenda taklim ini insyaallah akan dimulai pukul 10.00 nanti, namun seperti biasa saya “kepagian” sampai di lokasi pukul 08.00. Hampir selalu demikian yang saya jalani dalam tiap agenda dakwah di kota ini, sebab bila memang sebelumnya saya tak ada agenda, maka saya akan berusaha untuk berangkat lebih awal agar tak terlambat. Bila dipikir kembali, hal ini sudah saya jalani kurang lebih 4 tahun lamanya. Hal ini bagi saya pribadi bukanlah masalah, sebab banyak hal yang bisa saya lakukan untuk mengisi waktu menunggu ini. Misalnya dengan tilawatul qur’an, morojaah hafalan, baca buku, makan, dan banyak hal lagi. Pada saat ini saya lebih memilih menulis tulisan ini.

Sepanjang perjalanan dari tempat kosan saya hingga kota ini, selalu ada kisah dibalik tiap-tiap interaksi perjalanan yang saya lakukan. Kisah-kisah yang saya dapatkan senantiasa berbeda, baik bila melauli jalur perjalan yang senantiasa sama, lebih-lebih ketika melewati jalur perjalanan yang berbeda. Kali ini saya perhatikan sepanjang jalan ramai sekali dengan baliho, stiker, bendera,poster, dengan 1 tema yang sama yaitu berlomba-lomba untuk menarik suara masyarakat dalam pemilu legislatif. Hal ini bukanlah hal yang aneh menurut saya, sebab memang beginilah konsekuensi dari sistem demokrasi pancasila yang akan berhajat besar pada tahun ini. Pesta demokrasi yang memang mesti dijalani dengan semangat saling berlomba dalam kebaikan untuk membangunindonesia yang adil-sejahtera. Semarak pesta ini sudah semestinya disambut dengan penuh gegap gempita (seperti pada lagu). Tentunya dengan banyak sekali catatan-catatan dari para pengkeritik politik.

Hal awal yang diperhatikan adalah aspek estetika pemasangan atribut kampanye, yang menjadi pembicaraan yang cukup menarik bagi kita. Tentunya bila diperhatikan perjalanan negri yang baru belajar demokrasi se-usia remaja, hal ini masih dapat dimaklumi dan dimaafkan. Oleh karena itu, lagi-lagi publiklah yang semestinya lebih cerdas dalam menilai aspek kesantunan estetika pemasangan atribut-atribut tersebut. Sebab tidak sedikit dari para calon anggota legislatif yang begitu bersemangat dalam hingar-bingar publikasi atribut kampenye. Namun, bak permata diantara bebatuan kerikil, masih ada para calon anggota legislatif yang tetap pada ideolgisnya. Mereka tetap teguh menjaga izzah (kehormatan) dalam mempublikasikan atribut kampanye dan dengan kesantunan yang membumi. Mulai dari peroses pengadaan, pembagian tugas sesama kader partainya, penentuan tempat yang strategis, pemasangan atribut tanpa merusak, dengan menjaga utuh kesantunan dalam ruang terbuka masyarakat.

Sedikit saya kisahkan perjalanan saya ditempat yang lain, lebih spesifiknya adalah di kota Weiden-Jerman. Pada saat itu bertepatan dengan pemilu raya baik ditingkat provinsi dan nasional (oktober 2013). Satu hal yang sangat jelas berbeda adalah, begitunya rapih tatanan tiap atribut kampanye para calon pimpinan yang bertarung dalam pemilu di Jerman. Semuanya begitu rapih sepanjang apa yang saya pandang dalam tiap perjalan yang saya tempuh disana. Tentunya hal ini tidak semerta-merta membuat saya gunjang-ganjing dengan yang biasanya terjadi di negri tercinta, sebab banyak hal yang memang belum saya ketahui tentang hal-hal yang berbeda secara perinsip dari pesta akbar demokrasi di Jerman dan di Indonesia. Karena memang apa yang saya saksikan di Jerman hanyalah sepintas lalu saja, namun seperti itulah kenampakannya.

Kembali kepada apa yang terjadi di kota-kota negri ini, dengan memperhatikan secara jelas dari kompetisi jelang pemilu legislatif. Hal-hal yang terlihat sepintas-lalu tidak rapih dan cendrung amburadul ini tidak bisa secara utuh disalahkan. Sebab secara perinsip, masyarakat (dalam hal ini selaku publik demokrasi) berhak tahu siapa saja yang nantinya akan menjadi dewan perwakilan suara mereka. Dengan catatan publik juga penya kewajiban yang derajatnya sama seperti haknya, yakni dalam hal melakukan penilaian yang selektif dan cerdas. Sebab dengan porsi kepahaman yang seimbang antara hak dan kewajiban pada tiap pemegang hak suara ini-lah, demokrasi yang dewasa dan sehat dapat tercipta di negri ini.

Salah satu kriteria utama layaknya para peserta pemilu ini untuk dipilih adalah kecerdasan sistemkampanye yang dilakukan. Yang mesti disadari pertama adalah kesuaian porsi antara pempublikasian dengan pencerdasan kenapa mereka harus dipilih. Mulai dari atribut kampanye hingga kerja tim yang solid dari para kader partainya. Sebab dengan memerhatikan hal inilah, sejatinya publik dapat melihat secara utuh keprofesionalan partai yang akan mereka pilih. Sekaligus dapat menilai kualitas caleg-caleg dari partai tersebut, yang memang dipilih sebagai suatu peroses pengaderan politik utuh, bukan hanya penunjukan pragmatis partai. Sebab memang akan terlihat jelas para caleg yang memiliki peroses panjang dalam membangun masyarakat hingga akhirnya peroses pengaderan dalam partai ditentukan.

Kelayakan partai dan kadernya sungguh kentara sekali terlihat, bila kita mau berhenti sejenak dan berpikir tentang proses. Bukan produk sepintas lalu berupa atribut kampanye yang kita kritisi, namun yang paling penting adalah proses detail yang merajutnya secara utuh. Kelayakn ini dapat kita perhatikan dan pikirkan dari gerak silaturahim penuh kesantunan para kader-kader partai tersebut, serta antusiasme positif para simpatisan, hingga sikap para lawan politiknya. Sebab ketulusan peroses panjang para kader partai tersebut daalam membangun masyarakat tidak akan pernah bisa dibohongi.

Kelayakan itu diejahwantahkan dalam kerja-kerja penuh cinta yang mereka lakukan, serta keharmonian kerja tiap kader mereka dalam membangun masyarakat yang tidak pernah turun kualitasnya. Baik dalam masa sebelum pemilu, lebih-lebih ketika masa pemilu ini. Ini bukanlah hal yang mengada-ada, silahkan lihat secara utuh sekeliling dengan kepedulian kita selaku publik yang cerdas dalam menilai kesantunan. Senyum-senyum tulus mereka takkan pernah bisa di-elak-kan sebagai suatu rasa cinta yang tulus dari hati. Kerja-kerja yang mereka lakukan sedari dulu, bukanlah isapan jempol belaka, sebab kita menyaksikan betul peroses itu. Kerharmonian yang mereka bangun dalam kader mereka, simpatisan, dan rival politiknya sungguh sejuk sekali terlihat oleh kita.

Biarlah hegemoni pesta demokrasi ini mendidik kita, jangan sampai kalah dengan gelombang pragmatisme nan tak etis yang membuat kita sesak. Hiduplah dengan menjadi manusia yang memerhatikan manusia sekeliling yang terus berkerja dengan tulus melayani. Lihatlah dengan seksama hasil kerja panjang yang mereka dan partainya beri untuk kita dan negri ini. Adil-lah kita dalam menilai kesejahteraan yang tidak semata-mata dengan prgmatisme politik. Namun, lihatlah sistem kebijakan politik yang telah dibangun, serta hasil-hasil manis yang mulai bisa kita nikmati kini. Memang belum sepenuhnya nilai-nilai kabaikan ini terbangun secara mengakar utuh dalam negri ini. Oleh karena itu, keberlanjutan harus tetap berjalan. Hingga Indonesia yang adil sejahtera dapat bersemi serta bertumbuh menjadi negri yang diidamkan seluruh rakyatnya.

Bantulah mereka agar mereka senantiasa dapat senantiasa membantu kita dan negri ini menjadi negri “yang baldatun, thoyyibatun wa robbun gofuur”…

itulah sepintas hal yang saya pikirkan dari interaksi dalam perjalanan aktivitas ahad ini, setidaknya hal-hal penting yang ingin saya bagi sudah saya sampaikan dengan tulus. Semoga kerja-kerja penuh cinta yang kami lakukan dengan harmoni ini, dapat membantu masyarakat sekalian dan negri ini secara utuh. Oleh karena itu, bantulah kami agar kami senantiasa dapat membantu anda dan negri ini.

Salam hangat penuh cinta, dari kami kader Partai Keadilan Sejahtera.

Apapun Yang Terjadi Kami Tetap Melayani!

Mahabbah-‘Amal-Tawazun (Cinta-Kerja-Harmoni) 
Alfain Sahuda

0 komentar:

Posting Komentar