Featured Article

Rabu, 07 Januari 2015

Temu Jiwa Sentuh Fisik

Shalatnya panjang dan khusuk. Keluh dan resah mengalir dalam doa-doa. Hasrat dan rindu merangkak bersama malam yang kian kelam. Usai shalat perempuan itu akhirnya rebah di pembaringan. Cemasnya belum lunas. Lama sudah suaminya pergi. Untuk jihad, memang. Tapi cinta tetaplah cinta. Walaupun jihad, perpisahan selalu membakar jiwa dengan rindu. Maka ia pun rebah dengan doa-doa; “Ya Allah, yang memperjalankan unta-unta, menurunkan kitab-kitab, memberi para pemohon, aku memohon pada-Mu agar Engkau mengembalikan suamiku yang telah pergi lama, agar dengan itu Engkau lepaskan resahku. Engkau gembirakan mataku. Ya Allah, tetapkanlah hukum-Mu di antara aku dan khalifah Abdul Malik bin Marwan yang telah memisahkan kami”.

Untungnya malam itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan memang sedang menyamar di tengah pemukiman warga. Tujuannya, ya, itu tadi; mencari tahu opini warga soal pengiriman mujahidin ke medan jihad, khususnya istri-istri mereka. Dan suara perempuanlah itulah yang ia dengar.

Ini tabiat yang membedakan cinta jiwa dari cinta misi; pertemuan jiwa dalam cinta jiwa hanya akan menjadi semacam penyakit jika tidak berujung dengan sentuhan fisik. Disini rumus bahwa cinta tidak harus memiliki tidak berlaku.

Cinta jiwa bukan sekedar kecenderungan spritiual seperti yang ada dalam cinta misi. Cinta jiwa mengandung kadar sahwat yang besar. Dari situ akar tuntutan sentuhan fisik berasal. Mereka menyebutnya passionate love. Tanpa membawa semua penyakit. Sebagaimana hanya akan berujung kegilaan. Seperti yang dialami Qais dan Laila.

Ini mengapa kita diperintahkan mengasihi para pecinta; supaya mereka terhindar dari cinta yang seharusnya menjadi energi, lantas berubah jadi sumber penyakit. Maka sentuhan fisik dalam semua bentuknya adalah obat paling mujarab bagi rindu yang tak pernah selesai. Ini juga penjelasan mengapa hubungan badan antara suami istri merupakan ibadah besar, tradisi kenabian dan kegemaran orang shalih. Sebab, kata Ibnu Qayyim dan Imam Ghazali, ia mewariskan kesehatan dan jiwa raga, mencerahkan pikiran, meremajakan perasaan, menghilangkan pikiran dan perasaan buruk, membuat kita lebih awet muda dan memperkuat hubungan cinta kasih. Makna sakinah dan mawaddah adalah ketenangan jiwa yang tercipta setelah gelora hasrat terpenuhi,

Makna itu dapat dipahami Abdul Malik bin Marwan. Maka ia pun bertanya, “Berapa lama wanita bisa bertahan sabar?” “Enam bulan” jawab mereka. Kisah itu sebenarnya mengikuti pada temuan yang sama dimasa Umar bin Khattab. Dan di kedua kisah itu, kedua perempuan itu sama-sama melantunkan syair rindu dan hasrat, dan Abdul Malik bin Marwan mendengar bait ini;

air mata mengalir bersama larut malam
sedih mengiris hati dan merampas tidur
bergulat aku lawan malam
terawangi bintang hasrat rindu mendera-dera
melukai jiwa

Memang hanya puisi tempat jiwanya berlari. Melepas hasrat yang tak mau dilepas. Sebab rindu tetap saja rindu. Puisi tak akan pernah sanggup menyelesaikannya. Sebab memang begitulah hukumnya; hanya sentuhan fisik yang bisa mengobati hasrat jiwa.

Anis Matta

Pesona Jiwa Raga

 
 
Pada mulanya adalah fisik. Seterusnya adalah budi. Raga menantikan pandanganmu. Jiwa membangun simpatimu. Badan mengeluarkan gelombang magnetiknya. Jiwa meniupkan kebajikannya.

Begitulah cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu: jiwa dan raga.

Tapi selalu ada bias disini. Ketika ketertarikan fisik disebut cinta tapi kemudian kandas ditengah jalan. Atau ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak tumbuh berkembang sampai waktu yang lama. Bias dalam jiwa ini terjadi karena ia selalu merupakan senyawa spritualitas dan libido. Kebajikan jiwa merupakan udara yang memberi kita nafas kehidupan yang panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang senantiasa menyalakan hasrat asmara.

Biasnya adalah ketidakjujuran yang selalu mendorong kita memenangkan salah satunya: jiwa dan raga. Jangan pernah pakai “atau” disini. Pakailah “dan”: kata sambung yang menghubungkan dua pesona itu. Sebab kita diciptakan dengan fitrah yang menyenangi keindahan fisik. Tapi juga dengan fakta bahwa daya tahan pesona fisik kita ternyata sangat sementara. Lalu apakah yang akan dilakukan sepasang pecinta jika mereka berumur 70 tahun? Bicara. Hanya itu. Dan dua tubuh yang tidur berdampingan di atas ranjang yang sama hanya bisa saling memunggungi. Tanpa selera. Sebab tinggal bicara saja yang bisa mereka lakukan. Begitulah pesona jiwa perlahan menyeruak di antara lapisan-lapisan gelombang magnetik fisik: lalu menyatakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa apa yang membuat dua manusia bisa tetap membangun sebuah jangka panjang sesungguhnya adalah kebijakan jiwa mereka bersama.

Seperempat abad lamanya Rasulullah saw hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan raganya. Dua kali menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi keindahan fisiknya. Tapi apa yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan ketika akhirnya pemuda terhormat, Muhammad bin Abdullah, menerima uluran cintanya. Yang lebih menarik dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah berpikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan ketika Khadijah wafat, Rasulullah saw hampir memutuskan untuk tidak akan menikah lagi.

Bukan cuma itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan janda dan gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak tergantikan. “Allah tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang yang lebih baik darinya,“ kata Rasulullah saw.

Terlalu agung mungkin. Tapi memang begitu ia ditakdirkan: menjadi cahaya keagungan yang menerangi jalan para pecinta sepanjang hidup. Pengalaman di sekitar kita barangkali justru selalu tidak sempurna. Karena biasanya selalu hanya ada “atau” bukan “dan” dalam pesona kita. Atau bahkan tidak ada “dan” apalagi “atau”. Ketika pesona terbelah seperti itu, cinta pasti berada di persimpangan jalan, selamanya diterpa cobaan, seperti virus yang menggerogoti tubuh kita. Dalam keadaan begitu penderitaan kadang tampak seperti buaya yang menanti mangsa dalam diam.

Anis Matta

Apakah Saya Dicintai Rasulullah?



Siapapun orangnya bila ia muslim, lalu ditanya apakah anda cinta Rasulullah? Pasti jawabannya : Iya, saya cinta Rasulullah. Bahkan sekalipun dia hanya seorang muslim di KTP, atau muslim ahli maksiat.

Tapi bila pertanyaannya dibalik, kira-kira bila anda bertemu dengan Rasulullah, apakah beliau akan cinta dan senang dengan anda?

Saya yakin, pertanyaan ini susah untuk menjawabnya dan tidak akan ada yang berani menjawab: Iya, pasti saya dicintai oleh Rasulullah.

Secara umum memang, Rasulullah itu sangat mencintai umatnya. Tapi secara khusus, bila beliau bertemu dengan kita secara langsung, apakah beliau akan redha dengan sifat, tingkah laku dan amalan kita?

Lain halnya dengan seorang tabi'in yang mulia, yang bernama Rabi' bin Khutsaim. Abdullah bin Mas'ud, salah seorang sahabat terdekat dan terbanyak mengambil ilmu dari Rasulullah pernah berkata perihal diri beliau: "Wahai Abu Yazid (kun-yah Rabi' bin Khutsaim), andaikan Rasulullah melihat dirimu, pasti beliau akan mencintaimu. Setiap kali aku melihat dirimu aku selalu teringat akan orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah (المخبتين)".

Para ulama hadits dan para pakar "jarh wa ta'dil" seperti Imam Asy Sya'bi dan Yahya bin Ma'in  berkata tentang dirinya: "Manusia seperti Rabi' bin Khutsaim tidak perlu dipertanyakan lagi".

Apa keistimewaan Rabi' sehingga beliau mendapat pengakuan dari sahabat Rasulullah bahwa beliau adalah orang yang pasti dicintai Rasulullah?

Banyak riwayat tentang diri beliau yang perlu kita teladani, supaya kita juga menjadi orang yang dicintai Rasulullah. Sekalipun sulit, bahkan hampir mustahil untuk kita tiru sepenuhnya, akan tetapi untuk perbaikan diri, sekalipun tidak akan sampai kederjat beliau, paling kurang kita sudah berusaha untuk meniru sifat mulianya.

تشبهوا بالرجال إن لم تكونوا مثلهم إن التشبه بالرجال فلاح

"Tirulah para tokoh itu sekalipun kamu tidak akan mungkin menyamainya. Sesungguhnya meniru para tokoh itu akan menjadikanmu menang".

Di antara sifat Rabi' bin Khutsaim yang terukir dalam sejarah hidupnya:

1. Orang yang pernah bergaul dengannya berkata: "Aku mendampingi  Rabi' selama 20 tahun, tidak pernah satu kalipun aku mendengar kalimat yang tidak baik keluar dari mulutnya".

2. Yang lain berkata: "Aku bergaul dengan Rabi bin Khutsaim selama bertahun-tahun, tidak pernah sekalipun beliau membicarakan hal-hal yang biasa dipercakapkan manusia, kecuali satu kali ia bertanya kepadaku, "Apakah ibumu masih hidup?"

3. Suatu kali beliau memberikan makanan yang lezat kepada seorang yang kurang waras. Lalu orang yang melihat berkata: "Tidak perlulah memberi dia makanan seperti itu, dia tidak akan tahu apa yang ia makan". Rabi' menjawab: "Tapi Allah tahu". Ini perlu kita renungkan dalam memberi.

4. Beliau selalu menyembunyikan amalannya. Suatu kali seseorang masuk ke dalam kamarnya secara tiba-tiba, sementara di pangkuannya ada mushaf al Qur'an. Dengan spontan beliau menutupinya. Yang lain menceritakan: "Tidak pernah Rabi' kelihatan melakukan shalat sunnah di mesjid kampungnya kecuali satu kali".

5. Anak perempuannya berkata, "Aku pernah berkata: "Ayahnda, kenapa ayah tidak tidur di malam hari, padahal orang lain tidur?" Beliau menjawab: "Ananda, neraka Jahannam tidak membiarkanku untuk tidur".

6. Di akhir hayatnya beliau dibopong ke mesjid untuk mengerjakan shalat karena beliau terkena penyakit stroke. Ada yang berkata kepada beliau: "Kenapa anda tidak shalat di rumah saja, Allah kan sudah memberi keringanan bagi orang yang sakit? Beliau menjawab: "Aku mendengar panggilan "Hayya 'alashshalah" (marilah untuk shalat), bila kalian sanggup datanglah sekalipun harus merangkak!"

7. Ketika beliau sakit ada orang yang menyarankan untuk berobat. Tapi beliau menjawab: "Aku teringat kaum Ad, kaum Tsamud, dan penduduk Rasy, serta umat-umat yang sudah banyak dihancurkan Allah, mereka juga ditimpa penyakit, di antara mereka juga ada dokter, namun apa kenyataannya? Tidak seorang pun yang kekal, baik itu yang diobati maupun yang mengobati. Mereka semua mati". Yang ini tidak perlu kita tiru, karena sudah di luar maqam kita.

8. Suatu kali kuda miliknya yang mempunyai harga sampai 20 ribu dirham dicuri orang. Teman-temannya menyarankan supaya ia mendo'akan pencuri itu agar celaka. Lalu ia berdo'a: "Ya Allah, bila yang mencuri itu orang kaya maka ampunilah ia, dan jika yang mencuri itu adalah orang miskin maka kayakanlah ia".

9. Di lain waktu beliau dilempar seseorang dengan batu sampai kepalanya terluka dan berlumuran darah. Sambil membersihkan darah yang mengalir sampai ke wajahnya ia berkata: "Ya Allah, ampunilah ia, karena ia tidak sengaja melemparku".

10.  Pada kesempatan lain unta kesayangan yang menjadi tunggangannya dipukul oleh budaknya karena ia berlaku agak liar. Pukulan itu tepat mengenai muka higga matanya pecah. Orang-orang sekelilingnya berkata: "Saat ini kita akan melihat Rabi' marah". Namun tatkala beliau melihatnya, ia hanya berkata: "Kenapa harus muka yang dipukul? Pergilah kamu, saya sudah memerdekakanmu". Bukannya dimarahi atau dihukum, justru budaknya dimerdekakan.

11. Nusair berkata: "Suatu malam aku menginap bersama Rabi'. Lalu ia melakukan qiyamullail. Ketika beliau membaca ayat:

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

"Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu". (al Jatsiyah: 21)

Beliau mengulang-ngulangnya sampai subuh. Dia tidak berpindah kepada ayat berikutnya, terus membacanya sambil menangis tersedu-sedu.

12. Suatu kali orang-orang sekelilingnya mengajak untuk duduk-duduk sambil bergurau. Beliau menolak dengan halus: "Kalau ingat kematian berpisah dari hatiku, itu akan merusak diriku".

13. Ketika ia ditimpa sakit stroke, ia ingin makan ayam. Namun keinginan itu ia tahan sampai 40 hari. Setelah itu ia berkata kepada istrinya: "Aku ingin makan daging ayam semenjak 40 hari, tapi aku tahan. Sayangnya jiwaku enggan, ia tetap inginkan". Istrinya berkata: "Subhanallah, apa-apaan ini, hingga kamu harus menahan dirimu dari makan ayam? Padahal Allah sudah menghalalkan itu".

Istrinya segera pergi ke pasar dan membeli seekor ayam kemudian memasaknya. Setelah dihidangkan di depannya, tiba-tiba ada pengemis di depan pintu rumahnya. Langsung saja ia memerintahkan istrinya untuk membungkus ayam yang sudah dimasak dengan enak itu dan memberikan kepada peminta-minta.

Istrinya enggan melakukan itu. Namun dia tetap ngotot memerintahkan istrinya untuk memberikan kepada pengemis yang ada di depan rumah. Kata istrinya, "Makanlah ini, aku akan buat sesuatu yang lebih baik dan ia sukai dari pada ini".

Rabi' bertanya: "Apa itu?". Istrinya menjawab: "Kita beri ia uang seharga ayam ini, dan kamu lanjutkan makan ayam itu". Beliau berkata: "Bagus sekali. Mana uangnya?  Kemudian istrinya mengeluarkan uangnya. Selanjutnya ia mengambil ayam yang sudah dimasak, roti dan sayurannya, lantas menyerahkan semuanya kepada pengemis itu bersama uang seharga ayam.

Itulah di antara sifat dan perbuatan Rabi' bin Khutsaim, seorang tabi'in yang mulia, hingga bila Rasulullah melihatnya, beliau akan mencintainya.

Ya Allah, rahmati kami dengan segala kekurangan ini.

(Zulfi Akmal, Al-Azhar Cairo)

Senin, 05 Januari 2015

Jilbab Syar’i Pilihan Pasti



ilustrasi
ilustrasi
 
Oleh : Widy Astuti, widyastuti898@yahoo.co

BUSANA muslimah yang lebih dikenal dengan sebutan jilbab atau hijab bariu-baru ini menjadi tern yang mulai digandrungi kaum hawa. Jangan heran kalo beberapa waktu belakangan ini makin marak para muslimah berbusana muslim. muncullah komunitas ‘jilbabers’ ataupun ‘hijabers’ yang beranggotakan para muslimah berjilbab atau berhijab.

Namun kemudian muncul pula pertanyaan, apakah fenomena berkerudung dan berjilbab itu sejatinya gambaran kebangkitan umat Islam? Gambaran kesadaran beragama, khususnya di kalangan muslimah, yang kian kental? Ataukah cuma arus tren yang sebentar lalu akan tergerus oleh arus tren berikutnya, yang lainnya?

Jilbab yang sejatinya ada karena Allah yang memerintahkan para muslimah memakainya. Bukan sekadar pakaian yang menutupi badan. Tapi itu akan dilakukan karena sandaran keimanan. Tidak lain dan tidak bukan. Sehingga desain yang dihasilkan pun semestinya mengikuti kriteria jilbab yang Allah perintahkan, bukan semata-mata bersandar pada daya kreativitas manusianya saja.

Memang benar, para muslimah semakin sadar akan kewajiban menutup aurat. Namun kesadaran ini belum disertai kejelian memilih mode jilbab yang terkategori syar’i. Sebab roda era globalisasai tak terhenti sedangkan beribu rayuan model pakaian jilbab bermunculan. Di sisi lain banyak film-film dan sinetron yang melegalkan pacaran di kalangan hijabers remaja. Tak jarang kalangan tertentu mengkaitkan jilbab dan hijab dengan maksiatnya para jilbaber yang melakukan aktivitas yang diharamkan islam bernama berpacaran.

Jilbab merupakan bagian dari pelaksanaan hukum syara’ yang harus sesuai dengan ketentuan syara’( syar’i). Sedangkan pacaran merupakan pelanggaran terhadap hukum syara’. Harusnya kita mendudukkan masalah secara benar, tak perlu mencampur adukkan yang hak dan yang batil. Berjilbab sebagai salah satu buah keimanan seharusnya tidak hanya sampai permukaan. Karena memang jilbab bukan sekadar pakaian, dan berjilbab bukan sekadar berpakaian. Berjilbab semestinya jadi pemicu bagi kita untuk mau menyegerakan diri menjadi hamba Allah yang lebih baik.

Kehadiran tulisan ini merupakan bentuk kepedulian kepada muslimah seluruh Nusantara. Saudariku yang muslimah, yakinlah bahwa syariat islam yang paling layak mengatur kehidupan kita, itu semua teruntuk kebaikan dan kemashlahatan dunia dan akhirat []

Di Balik Fatwa Haram Natal Bersama

Buya Hamka bersama Ratu Alamsjah Prawiranegara

Buya Hamka bersama Ratu Alamsjah Prawiranegara
Oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Beberapa waktu lalu, aksi kristenisasi di Indonesia menuai berbagai kecaman dan meresahkan masyarakat, terutama umat Islam. Masih hangat di ingatan kita, seorang nenek berjilbab yang sedang berjalan kaki dalam Car Free Day (CFD), tiba-tiba dijegat dan dipaksa berdoa kepada Yesus oleh misionaris.[1] Kemudian pada kasus lain, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) tidak menyetujui aturan Polri tentang pemakaian jilbab bagi Polwan.[2] Tampaknya kristenisasi di Indonesia bak barang bekas yang terus didaur ulang.
Sebab sejak masa penjajahan, negeri muslim terbesar di dunia ini dibidik sebagai sasaran empuk oleh Misi Kristen. Ketika penjajah Portugis berhasil menduduki Malaka, Panglima Perang Alfonso Dalbuquerque berpidato:
“Adalah suatu pemujaan yang sangat suci dari kita untuk Tuhan dengan mengusir dan mengikis habis orang Arab dari negeri ini, dan dengan menghembus padam pelita pengikut Muhammad sehingga tidak akan ada lagi cahayanya di sini buat selama-lamanya. Sebab saya yakin kalau perniagaan di Malaka ini telah kita rampas dari tangan kaum muslimin, habislah riwayat Kairo dan Mekkah, dan Venesia tidak akan dapat lagi berniaga rempah-rempah kalau tidak berhubungan dengan Portugis.”[3]
Penjajah Belanda juga sangat berambisi melakukan aksi kristenisasi. Alb C Kruyt (Tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum mengakui, “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.”[4]
Pemerintah kolonial juga telah mencoba untuk mengatur perkawinan di masyarakat, yang secara langsung bersinggungan dengan umat Islam di Indonesia, sebagai mayoritas rakyat Indonesia.Pada tahun 1937, Pemerintah kolonial Belanda mencoba mengajukan undang-undang perkawinan yang mewajibkan umat Islam untuk mencatatkan pernikahannya, dan mewajibkan monogami serta melarang suami menceraikan istri secara sepihak.

Sontak undang-undang ini menuai reaksi keras dari umat Islam saat itu, sehingga pemerintah kolonial pun membatalkannya. Namun di lain sisi, sejak tahun 1933, pemerintah kolonial telah memberlakukan Undang-undang perkawinan untuk Kristen pribumi yang disebut HOCI(Huwelijkes Ordonnantie Christen Indonesiers), dan tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka.[5]
Momentum kristenisasi di Indonesia terjadi ketika konflik besar ideologis antara Islam bersama kaum nasionalis melawan komunisme yang diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI). Eskalasi konflik ini mampu ditangkap pihak gereja dengan menawarkan jaminan keselamatan politik bagi mereka yang menganut Kristen. Sebagaimana diungkapkan oleh Jeff Hammond, misionaris asal Amerika Serikat yang berkarya di Indonesia.

“Setelah peristiwa G30S/PKI, terjadi masa kairos (bahasa Yunani untuk waktu kesempatan) di Indonesia sehingga dalam enam tahun (1965-1971) ada lebih dari tujuh juta orang di pulau Jawa yang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Tuaian itu telah berjalan terus dan banyak gereja di mana-mana telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan berbagai gerakan yang mulai lahir telah berdampk selama tahun 1970-1980-an.”[6]

Aksi-aksi zending dan misi Kristen kala itu dilakukan dengan memaksakan berbagai jalan serta tipu daya, seperti bujukan dengan uang dan harta, mulut manis, beras, gula-gula permen dan bonbon agar umat Islam menukar agamanya dengan agama Kristen.[7]

Upaya penyiaran Kristen atau memurtadkan umat Islam itu dengan jelas dinyatakan oleh seorang zending Kristen bernama Dr.Sijabat yang mengatakan bahwa objek yang hendak dikristenkan itu tidak lain memanglah umat Islam Indonesia sendiri.[8] Akibat kristenisasi, ketegangan antar umat Islam dan umat Kristen pun tak terhindarkan.

Di Makassar, seorang guru beragama Kristen memuntahkan kata-kata nista kepada murid-muridnya yang mayoritas muslim. Dia katakan, “Nabi Muhammad SAW adalah seorang pezina. Nabi Muhammad adalah seorang yang bodoh dan tolol. Sebab dia tidak pandai menulis dan membaca.” Akibatnya pada malam 1 Oktober 1967, beberapa gereja di Makassar dirusak dan dipecah kaca-kacanya oleh para pemuda Islam.[9] Sungguh aksi pemuda Islam ini melukai orang Kristen dan kita sesali kejadian yang tidak baik itu.
Namun Tokoh Masyumi, M.Natsir memandang hendaknya persoalan ini tidak dilihat secara symptomatis approach, yaitu dengan hanya melayani gejala yang kelihatan. Ibarat orang yang sakit malaria, kepalanya panas lantas diberi kompres dengan es, tidaklah akan menghilangkan penyakit malaria itu. Harus dicari sebab hakiki dari penyakit itu sendiri. Karena panas kepala hanya suatu gejala dari orang yang sakit malaria. Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama beragama yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang beragama lain. Tetapi kalau pihak Kristen yang unggul dalam arti materiil dan intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang serius. [10]

Apabila guru Kristen tadi tidak memancing-mancing dengan menghina Nabi Muhammad SAW di depan murid-muridnya yang kebanyakan muslim, tentu umat Islam tidak akan merusak gereja-gereja itu. Kalau merusak gereja, memang ajaran Islam, sudah lamalah beratus-ratus gereja di Makassar dirusak. Namun puluhan tahun sebelum pemuda tadi merusak, telah banyak gereja-gereja berdiri di tengah kota Makassar.
Kemudian aksi kristenisasi di Meulaboh, Aceh yang 100% penduduknya Islam, kaum Kristen mendirikan gereja. Di Toba, mereka berpindah ke daerah kampung-kampung orang Islam, lalu mereka melepaskan babi dan membakar anjing untuk dimakan. Lantaran merasa jijik, orang Islam itu lari meninggalkan kampung halamannya. Akibatnya, langgar-langgar menjadi sepi, dan gereja-gereja banyak berdiri.
Di Sumatera Barat, ratusan orang zending Kristen berkedok jadi penjual kain. Lalu terjadi kekacauan –kekacauan yang tidak diinginkan. Akhirnya, pemerintah daerah terpaksa mempersilahkan mereka pulang saja ke kampung halamannya.

Di Bukittinggi, dengan topeng mendirikan rumah sakit, mereka mempropagandakan agama Kristen. Masyarakat Bukittinggi yang dipimpin ninik-mamak dan ulama keberatan dengan hal itu. Kemudian menteri agama melarang pembangunan gereja di dalam rumah sakit itu demi menjaga keamanan.
Setelah keluar larangan Menteri Agama, tiba-tiba dalam masa beberapa Minggu saja, keluarlah maklumat dari pihak Tentara di Bukittinggi, bahwa tentara mengizinkan Baptist membangunan rumah sakit dengan segala fasilitasnya, termasuk gereja, di atas tanah milik militer. Jelas sekali bahwa Baptist yang dipimpin oleh warga negara Amerika itu telah mengadu domba Kementerian Agama dan Militer.

Kemudian di Pulau Banyak. Sudah puluhan tahun orang Aceh di Pulau Banyak dan orang Nias di Pulau Nias hidup berdampingan secara damai. Banyak orang Nias yang beragama Kristen datang ke Pulau Banyak, mencari penghidupan di sana. Dan tidak ada gangu mengganggu.

Namun, program zending dan misi mengacaukan kedamaian itu. Akibatnya, kedatangan mereka menjadi agresif. Mereka menyerbu wilayah Pulau Banyak dan memaksakan kehendak untuk mendirikan gereja di atas tanah umat Islam yang jumlahnya 90% itu. Mereka seakan-akan menjadi tuan di pulau itu.
Ulama Besar Aceh, Teungku Daud Beureueh lalu menegur cara curang mereka. Kemudian ributlah surat-surat kabar Kristen memutar balikkan duduk persoalan. Mereka kampanye bahwa orang-orang Aceh mengusir orang-orang Kristen dari Aceh. Di Ambon, kaum Kristen leluasa membakar kedai-kedai dan toko-toko orang Islam. Di Flores, beberapa pemimpin dan pemuka Islam hilang.[11]

Ketegangan juga terjadi di pemerintahan. Menghadapi wabah kristenisasi tadi, pada tahun 1967, Presiden Soeharto menganjurkan pemimpin-pemimpin agama mengadakan musyawarah untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Dibuatlah oleh Presiden Soeharto sebuah piagam yang isinya mengatur pelaksanaan dakwah agar tidak terjadi bentrokan.

Di antara draft konsep piagam itu disebutkan agar penyebaran satu agama tidak ditujukan pada orang yang telah menganut agama lainnya. Dan supaya bantuan-bantuan untuk organisasi agama yang datang dari luar negeri, diketahui oleh pemerintah.

Kedua isi piagam itu disebabkan oleh propaganda Kristen yang selalu ditujukan pada orang Islam. Sehingga orang Islam merasa resah dan terganggu oleh propaganda itu. Juga karena dana propaganda Kristen masuk ke Indonesia dari sumber-sumber di luar negeri yang berlimpah tanpa sepengetahuan pemerintah.
Namun, pihak Kristen dengan sangat arogan menolak piagam itu. Mereka dengan terus terang mengatakan penyebaran agama Nasrani kepada orang Islam adalah sebagai missi suci.

M. Natsir yang turut hadir dalam musyawarah itu kemudian menyatakan bahwa bagi umat Islam, dakwah Islam juga suatu missi yang suci.
“Kalau orang Kristen karena missinya tak mau tunduk aturan, kami pun boleh melakukannya. Kalau kami mati untuk itu, kami syahid, akan tetapi negara dan bangsa Indonesia akan hancur,” tangkis perdana menteri pertama Indonesia ini.
Karena musyawarah tak bisa diteruskan. Akhirnya Menteri Agama Alamsyah berdasarkan pada seruan Presiden Soeharto itu, mengeluarkan dua buah Surat Keputusan yang bernomor 70 dan 77. Kedua surat keputusan menteri agama itu berisi peraturan penyebaran agama. Masing-masing orang tidak boleh dengan secara leluasa memurtadkan orang dari agama yang telah dianutnya apalagi dengan bujukan uang dan beras.
Tidak boleh pula ada bantuan luar negeri kepada badan-badan agama, kecuali dengan izin pemerintah. Surat keputusan menteri agama itu disetujui oleh Presiden Soeharto dan anggota-anggota kabinet seluruhnya. Namun pihak Kristen dan Katholik menentangnya dengan keras.

Semua organisasi Kristen mengeluarkan bantahan. Dewan Tertinggi Gereja Katholik dan Protestan mengeluarkan buku putih menuduh Menteri Agama Alamsyah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Koran-koran mereka setiap hari melancarkan kritik kepada menteri agama. Meskipun demikian pemerintah Indonesia, terutama Soeharto sendiri menyatakan bahwa surat keputusan menteri agama itu juga keputusan pemerintah.

Mendengar keputusan pemerintah itu, orang Kristen dan Katholik untuk sementara waktu berdiam diri. Akan tetapi dengan secara rahasia mereka mengatur siasat. Mereka memanggil ahli-ahli hukum Kristen untuk menyusun konsep menuntut Menteri Agama Alamsyah ke muka mahkamah. Kemudian mereka mengadakan kampanye secara besar-besaran menyambut hari “Hak Asasi Manusia” yang jatuh setiap tanggal 10 Desember.
Menurut pihak Kristen, Menteri Agama Alamsjah telah melanggar HAM. Puncak dari kampanye menentang agama itu pada waktu hari Natal saat itu.[12]

Setahun kemudian, pada tahun 1968, dalam pidato di muka DPR-GR, Soeharto sekali lagi memberikan peringatan. Beliau tegaskan,” Oleh karena itu praktik-praktik penyebaran agama dengan paksaan atau tipu daya adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Orang yang merasakan bahwa agamanya terdesak, sebenarnya orang yang lemah imannya dan kurang mengamalkan ajaran agama itu sebaik-baiknya.”[13]

Demi menjaga stabilitas antar umat Islam dan Kristen, muncul perintah yang menggelikan dari beberapa orang Kepala Jawatan dan juga beberapa orang Menteri Kabinet Pembangunan, yaitu menyatukan peringatan hari lebaran idul fitri dan natal menjadi lebaran natal.

Seperti diketahui, tahun 1968 adalah tahun yang unik di Indonesia. Sebab umat Islam berhari raya idul fitri sampai dua kali, yaitu 1 Januari dan 21 Desember 1968. Secara panjang lebar, dalam buku Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik, Buya Hamka mengisahkan situasi saat itu:
Dalam sambutan peringatan hari lebaran natal itu, Kepala Jawatan atau Menteri, atau Jenderal menyampaikan demi kesaktian Pancasila yang wajib kita amalkan dan amankan dalam lebaran natal ini, kita menanamkan dalam hati kita sedalam-dalamnya tentang arti toleransi. Dan diaturlah acara mula-mula membaca Al-Qur’an oleh seorang pegawai yang pandai mengaji.
Kemudian diiringi oleh seorang pendeta atau Pastor yang sengaja diundang, dengan membacakan ayat-ayat injil, terutama yang berkenaan dengan kelahiran ‘Tuhan’ Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah yang Tunggal, tetapi dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma ke dalam tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.
Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam pertemuan lebaran natal itu adalah orang-orang Islam daripada orang-orang Kristen. Orang Islam diharuskan mendengarkan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Alah beranak, dan Yesus ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad SAW dengan tenang. Padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat. Dan Al-Qur’an bukanlah kitab suci, melankan buku karangan Muhammad saja.

Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Qur’an, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian datanglah komentar dari protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama toleransi, demi kesaktian Pancasila!

Dan sebagai penutup disuruh kemuka seorang Kyai membaca do’a, seluruh hadirin yang Islam membaca amin. Pihak Kristen duduk berdiam diri, dan kita tahu apa yang terasa dalam hatinya, yaitu muak dan mual. Kemudian naik pula yang pendeta menyebut do’a-do’a hari natal. Dan semua orang Islam berdiam diri saja, dan kita pun tahu apa yang ada dalam hati mereka.
Pada hakikatnya, mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keteragan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau tidak diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.
Sementara sang Pastor dan Pendeta menerangkan dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus. Telinga orang islam muntah mendengarkan.
Bertambah mendalam orang-orang beragama itu meyakini agamanya, bertambah muntah telinganya mendengarkan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan pokok akidah agamanya.

Pimpinan Pusat Ikatan Pemuda Muhammadiyah sudah menjelaskan bahwa do’a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah dibolehkan dalam ajaran Islam. Do’a demikian pun tidak akan dapat diterima karena do’a adalah ibadah dan ada sendiri ketentuannya. Orang Islam meminta kepada Tuhan Allah yang satu, yang tidak ada syarikat bagi-Nya. Sedankan Pastor dan Pendeta akan berdo’a kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Roh Kudus.
Semangat toleransi yang sejati dan logis ialah ketika orang Islam berdo’a, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika Pastor berdo’a kepada Tiga Tuhan, orang Islam keluar.” [14]
Dalam sebuah khutbah Jum’at di Masjid Agung Al-Azhar, Buya Hamka mengingatkan,” Haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri upacara natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik. Ingat, dan katakan pada kawan-kawan yang tidak hadir di sini. Itulah aqidah tauhid kita,” tegasnya dengan suara lantang.[15]
Itulah sikap Buya Hamka mengenai lebaran natal ini, yang berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang ketika itu Buya Hamka sendiri menjadi ketuanya, bahwa natal dan idul fitri bersama haram hukumnya. Pemerintah melalui Menteri Agama Alamsyah lalu meminta supaya fatwa itu dicabut. Namun Buya Hamka memilih meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI. Bagaimana sebenarnya Buya Hamka menghadapi permintaan pemerintah sampai akhirnya mengundurkan diri sebagai Ketua MUI?
Berikut penuturan anaknya, Rusydi Hamka dalam buku yang berjudul Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr.Hamka:
Setelah ayah bersama pimpinan harian MUI menghadiri pertemuan dengan Menteri Agama Alamsyah di Departemen Agama, baju kaos Ayah agak basah karena keringat dan wajahnya tampak murung. Berceritalah dia tentang kehebohan fatwa MUI. ‘Ada ketegangan antara MUI dengan Menteri Agama, tapi tadi bisa didinginkan… Tampaknya MUI akan sulit mengeluarkan fatwa-fatwa lagi nanti.’
Tiba-tiba saat kami sedang berbicara, Sekretaris Harian MUI Mas’udi masuk. Setelah duduk mendengarkan cerita ayah dan saya, Mas’udi dengan wajah sedih bercerita bahwa dia telah menerima surat keputusan, dia ditarik dari kedudukannya sebagai sekretaris MUI gara-gara menyiarkan fakta itu.
Ayah terkejut mendengarnya. Setelah melihat surat itu, dia lalu menyuruh saya membacanya keras-keras.
Tiba-tiba ayah berdiri, mengambil telepon minta bicara dengan Menteri Agama. Jawabannya beliau tidak ada di tempat.
‘Kalau begitu saya mau bicara dengan Sekjen,’ ujar ayah lagi.
Setelah menunggu beberapa saat, telepon pun tersambung dengan Pak Sekjen Ali Siregar. Saya tak tahu apa jawanban dari Sekjen Departemen Agama itu di seberang sana, yang saya dengar ialah suara ayah karena saya berada di situ.
‘Saudara kan tahu, soalnya sudah selesai, saya sudah bilang tadi kepada Menteri bahwa beredarnya fatwa itu adalah tanggung jawab saya. Dan saya pun sudah menyatakan bahwa sayalah yang menerima akibat peredaran itu.’
Telepon diletakkan dengan keras, lalu ayah kembali ke tempat duduknya dengan menggelengkan kepalanya.
‘Apa jawabannya?’tanya saya
‘Perintah dari atas,’
Menyusul Pak Hasan Basri masuk ruangan. Merek masih menceritakan pertemuan dengan Menteri dan soal Mas’udi. Ayah dengan suara mantap berkata ‘Hati saya sudah patah.’
Kemudian Ayah mengalihkan pembicaraan. Dia menyuruh saya jam itu menemui Duta Besar Irak. ‘Bilang padanya supaya undangan ke Irak diundur bulan depan. Tiketnya dibatalkan saja. Kalau dia bertanya alasan pengunduran, bilang saja ayah sakit,’ Saya pun berangkat mengikuti perintahnya.
Hari-hari berikutnya saya membaca pernyataan Majelis Ulama yang ditandatangani oleh Ayah sebagai Ketua Umumnya dengan Sekretaris Jenderal Burhani Tjokrohandoko yang mencabut beredarnya fatwa Majelis Ulama soal natal itu.
Tapi besoknya saya disuruh mengantar release yang dibuat atas nama pribadi ayah sendiri ke koran-koran , isinya menegaskan bahwa pencabutan itu tidak berarti bahwa fatwa itu batal. Fatwa itu sah, yang dicabut hanyalah peredarannya.
Tanggal 18 Mei 1981, ketika saya sedang bekerja di kantor Panji Masyarakat. Ayah menelpon menyuruh saya datang. Sehari sebelumnya ayah baru kembali dari Medan. Saya kira bakal ada oleh-oleh dari Medan untuk cucu-cucunya. Tapi saya dapati ayah sedang duduk menghadapi mesin tiknya. Dia tersenyum ke arah saya, ‘Ayah sudah mengambil keputusan.’
Saya tahu keputusan itu ialah yang menyangkut Majelis Ulama, tapi saya belum tahu bagaimana cara yang bakal di tempuhnya.
‘Sebentar lagi ada rapat pimpinan harian di kantor Majelis yang baru di Istiqlal. Inilah rapat pertama di kantor itu dan ini pula pertama kali ayah melihat kantor itu. Tapi kedatangan ayah ke sana juga untuk terakhir kalinya,’ ujarnya dengan wajah berseri-seri.
‘Jadi ayah sudah berhenti?’ tanya saya mengingatkan saran-saran yang melarang dia berhenti.
‘Soalnya sudah lain, sadang lamak beranti (sedang enak berhenti),’ katanya dengan nada humor. Tapi jelas dari wajahnya bahwa dia merasakan bahagia pagi itu. Saya tak dapat menahan haru, lalu saya merangkulnya. Saya menangisinya dan ayah menenangkan saya. Setelah menuntun tangannya ke kursi, ayah bercerita tentang Imam Malik pada saya.
Saya kembali ke meja tulis membaca selembar surat di atas meja yang baru saja selesai dikarangnya. Dan ayah sudah siap hendak ke Masjid Istiqlal membawa dan akan membacakan surat itu. Inilah bunyinya:
Bismillahir Rahmaanir Rahim
  1. Menteri Agama H.Alamsyah dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia tanggal 23 April 1981 yang lalu telah menyatakan kecaman atas tersiarnya fatwa MUI. Dalam kecamannya itu H. Alamsyah telah menunjukkan kemarahannya dan menyatakan ingin mengundurkan diri dudukannya sebagai Menteri Agama.
  2. Menjawab ucapan-ucapan Menteri, maka saya mengatakan:Bukan Beliau, tapi sayalah yang lebih patut meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dan saya bertanggung jawab atas tersiarnya Fatwa yang membuat Menteri Agama mau mengundurkan diri itu.
  3. Karena anggapan bahwa Majelis Ulama masih diperlukan adanya di Indonesia dan demi mengamankan kehidupannya setelah keberhentian saya, maka saya pun menandatangani surat Keputusan Pencabutan peredaran itu dengan pengertian bahwa nilai Fatwa itu tetap shah sebagaimana yang telah diputuskan oleh Majelis Ulama Komisi Fatwa.
  4. Saya merasa perlu menyiarkan pernyataan pribadi akan shahnya isi Fatwa tersebut, sebagaimana telah dimuat oleh sementara surat-surat kabar. Namun demikian saya berharap pula kerja sama yang lebih baik antara ulama dan umara untuk masa-masa yang akan datang, terutama melalui pimpinan Majelis Ulama setelah saya meletakkan jabatan.
  5. Dengan ini saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia di hadapan rapat ini, karena saudara-saudaralah yang memilih saya melalui Munas MUI tahun 1980 yang lalu. Terimakasih.
Jakarta, 18 Mei 1981
(Hamka)[16]
“Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat,” ucap Buya Hamka dalam pidato pelantikannya sebagai Ketua MUI di Gedung Sasono Langen Budoyo Taman Mini Indonesia pada 27 Juli 1975.[17]

“Kue bika” itu begitu teguh berjuang. Alangkah bebas dan merdeka jiwanya. Betapa mantap pada diri sendiri dan yakin pada jalan hidup yang telah dipilihnya. Sungguh tak bersyukur bila kini kita khianati fatwanya.

Catatan Kaki
[1] Lihat https://www.youtube.com/watch?v=QUw11Tk6VnU
[2] www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/12/ngghxd-ketua-pgi-tak-setuju-penerapan-jilbab-bagi-polwan
[3] Dikutip Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik, Pustaka Panjimas:Jakarta, 2002, hlm.104 dari K M Panikkar, Asia and Western Domininge terjemahan bahasa Arab hlm. 42-1968
[4]Kata Pengantar Adian Husaini dalam Susiyanto, Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa, Cakra Lintas Media:Jakarta, 2010, hlm x yang dikutip dari Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES:Jakarta, 1985, hlm. 26
[5] Mujiburrahman, Disertasi Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order, ISIM Amsterdam University Press:Leiden, 2006
[6] Jeff Hammond, Transformasi-Kairos Bagi Indonesia dalam Niko Njotohardjo (et.al), Transformasi Indonesia; Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus, Metanoia:Jakarta, 2003, hlm.26 dalam Arif Wibowo, Kristenisasi Indonesia dari Masa ke Masa, INSISTS:Jakarta, 2014, hlm.7
[7] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama, Sosial-Budaya, Politik, Ibid, hlm.165
[8] Hamka, Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan Sekularisasi, Pustaka Panjimas:Jakarta, 2003, hlm.1
[9] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama ,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, 159
[10] M.Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, Peladjar dan Bulan Sabit:Bandung, 1969, hlm. 189
[11] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama ,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, 165-167
[12] Hamka, Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan Sekularisasi, Ibid, hlm. 55-58
[13] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama ,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, 168
[14] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama ,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, hlm.208-210
[15] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, Pustaka Panjimas:Jakarta, 1981, hlm. 192
[16] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, Ibid, hlm.193-196
[17] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, Pustaka Panjimas:Jakarta, 1981, hlm. 181

Minggu, 04 Januari 2015

Mursi: "Tetaplah bersabar dan bertahan, Dia akan mengangkat penderitaan ini dan penindasan akan hilang"



Presiden sah Mesir, DR. Muhammad Mursi mengucapkan selamat kepada kaum muslimin dalam rangka memperingati maulid Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Ucapan selamat tersebut beliau sampaikan dari dalam ruang sidang pengadilan yang dibatasi dinding kaca, ketika pengadilan militer Mesir akan memulai sidang kasus membocorkan rahasia negara yang dituduhkan kepadanya. Persidangan tersebut digelar di akademi kepolisian Cairo, Mesir, Ahad 4 Januari 2015.

Bagi Muhammad Mursi, persidangan yang digelar bagi dirinya tidak lebih dari kesempatan untuk berbicara kepada publik, karena selama ini pemerintah kudeta tidak pernah mengizinkan presiden yang dikudeta tersebut berbicara di depan umum, bahkan dalam persidangan, pemerintah kudeta sering hanya menghadirkan Mursi tanpa memberikan hak berbicara atau pembelaan diri.

Banyak pengamat politik di Mesir berpendapat, pengadilan yang dilakukan atas Mursi tidak lebih dari sandiwara politik agar seolah-olah kasus yang dituduhkan kepada Mursi benar adanya. Maka sangat wajar Mursi tidak pernah mengakui persidangan tersebut, malah menjadikannya kesempatan untuk berbicara kepada rakyat Mesir.

Dalam kalimatnya, Mursi juga mengucapkan terimakasih kepada Muhammad Mashry, pengacara yang tergabung dalam asosiasi pengacara pembela petinggi Ikhwanul Muslimin atas lantunan syair yang dibawakan oleh Muhamamd Mashry pada persidangan sebelumnya.

Kemudian Mursi menyatakan:  "اصبروا وصابروا، وبإذن الله ربنا سيرفع هذا الابتلاء وسيزول الظلم"  ("Tetaplah bersabar dan bertahan, dengan izin Allah.. Dia akan mengangkat penderitaan ini dan penindasan akan hilang")

(Hasmi/rassd)

Mari Menjadi Da'i yang Tidak Reaksioner


By: Nandang Burhanudin
****

Dakwah adalah profesi terbaik, sepanjang diiringi dengan amal shalih. Da'i adalah status terbaik, sepanjang da'i menjadi teladan dalam beramal. Da'i tak ubahnya dokter dan masyarakat sebagai pasiennya. Da'i harus terjaga sterilitas, imunitas, bahkan stabilitasnya sebelum terjun mendiagnosa, memeriksa, bahkan melakukan aksi pengobatan kepada masyarakat.
Apa jadinya, jika da'i yang hendak terjun mengobati masyarakat adalah da'i yang ringkih, tidak stabil, tidak imun, dan tidak steril. Tak ubahnya dokter yang tentu "bunuh diri" memeriksa pasien dengan ragam penyakitnya. Mulai yang flu ringan hingga pasien HIV/AIDS, dll.
Apa jadinya pula jika da'i adalah sosok yang ringkih kualitas ruhiahnya, kurang tsaqofahnya, terbatas kitab bacaannya, tak jelas talaqqi ilmunya, atau sempit pergaulannya. Bisa dipastikan ibarat dokter yang salah kaprah memberikan resep dokter kepada pasiennya. Bukankah sering terjadi "malpraktek" di dunia kedokteran? Apakah malpraktek juga terjadi di dunia dakwah?
Kita sering dihadapkan pada fenomena, da'i yang salah memberi resep kepada pasiennya. Saat masyarakat miskin-bodoh-terbelakang, resep yang kita berikan bukan solusi ekonomi-pendidikan-atau peningkatan kualitas SDM, tapi malah meneriakkan yel-yel heroisme atau hanya mengatakan, "Islam adalah solusi bagi semua masalah!" Tanpa menjabarkan lebih detail dan nyata, bagaimana tupoksi penyelesaian masalah cara Islam. Diyakini, peran da'i demikian ibarat dokter yang mendiagnosa penyakit anemia dan ia memvonisnya leukimia. Parah bukan?
Karena da'i adalah dokter yang "dianggap" mampu mencarikan solusi dari kesulitan yang ada, maka da'i harus steril dari penyakit-penyakit yang kerap menghinggapi para juru dakwah. Penyakit tersebut adalah: Mental infi'aliyyah (reaksioner).
Da'i yang reaksioner adalah cerminan dari jiwa emosional dan berbasis gerakan yang tidak memiliki manhaj yang jelas. Sikap reaksioner nampak saat da'i dan gerakan dakwahnya hanya fokus mengomentari kasus per kasus, fenomena ke fenomena, tidak holistik menyikapi keadaan sebagai satu kesatuan utuh. Maka sebuah gerakan dakwah bisa dikategorikan reaksioner jika segala gerakannya tidak berangkat dari tujuan dan sasaran yang jelas; tidak berdasarkan tahapan-tahapan yang jelas, dan tidak menggariskan langkah-langkah yang jelas. Sehingga semua manuvernya tidak lebih dari reaksi terhadap kondisi sesaat yang muncul atau terhadap isu yang dianggap aktual. Dengan kata lain dakwah yang infi'aliyyah adalah dakwah yang tidak berpijak pada manhaj (jalan, sistem) yang jelas. Padahal Allah Swt. telah menegaskan pentingnya manhaj yang jelas itu. "Katakanlah inilah jalanku, aku menyeru ke jalan Allah dengan pandangan yang jelas (bashirah)." (Yusuf 108)
Dampaknya sangat tragis. Bagaimana dakwah kita saat ini hanya fokus pada permasalahan furu' dan kita abai terhadap masalah ushul. Kita menjadi da'i yang marah saat organisasi kita dihina, tapi tak terusik saat agama kita dilecehkan. Kita menjadi da'i yang mudah mengkafir-kafirkan orang lain, bahkan acap mengarahkan telunjuk kafir, munafik, musyrik kepada umat yang tidak satu model perjuangan dengan kita. Bahkan kita pun sering gelap membabi buta bila pemimpin partai-ormas-atau tokoh dakwah kita dirudung masalah, bukan?
Akibatnya, gerakan dakwah terkesan ngawur alias tak tentu arah. Energi dakwah terkuras untuk merespon berbagai kasus, peristiwa, perkembangan politik, atau problem sosial yang fenomanial. Sementara itu, permasalahan umat yang sesungguhnya terabaikan.
Namun pandangan di atas bukan berarti da'i dan gerakan dakwah tidak perlu merespon permasalahan fenomanial. Tapi lebih dari itu seorang da'i dan gerakan dakwah harus memiliki Rekam Medis (Medrep) atas pasien-pasien yang ia obati. Saking pentingnya Rekam Medis ini, beberapa RS di Singapura dan Malaysia mensyarakatkan agar setiap pasien yang hendak berobat, harus mengirimkan catatan, sejarah, latarbelakang, atau rekam jejak kehidupan calon pasien. Itu untuk kesehatan fisik. Lalu mengapa untuk kesehatan ruhiah, kesembuhan penyakit yang berkaitan dengan agama dan mentalitas tidak diberlakukan hal yang sama?
Nah, realita membuktikan, rata-rata da'i dan gerakan dakwah tidak memiliki kecakapan yang patut dan cukup tentang rekam jejak masyarakat yang ia dakwahi, sejarah masa lalunya, kebiasaan dan tradisi kesehariannya, profesi dan hobi, bahkan para da'i tidak "mau mengerti" realitas bahwa rata-rata objek dakwahnya adalah masyarakat yang sejak lama dibuat bodoh oleh penjajah.
Karena kita tidak memiliki pemahaman yang baik itulah, kita sering reaksional, main gebyah uyah, tidak malapah gedang (tadarruj/bertahap). Akhirnya keindahan Islam hanya sebatas teori di kitab Suci atau ada di makalah kumpulan Sunnah, tapi tak mampu memberi solusi yang nyata. Ujung-ujungnya, umat menjauhi kita. Karena kita dikenal sebagai da'i malpraktek. Da'i yang salah memberi resep. Karena diagnosanya tidak didasari pemahaman yang baik, cenderung emosional, dan tak patut menjadi teladan. Akankah kita berubah?

Wallahu A'lam

Bandung; 5:44, 23-06-13

"Cinta Nabi yang Kini Pudar" | Catatan Untuk Mufti Saudi Yang Haramkan Maulid Nabi



By: Nandang Burhanudin

Awal tahun 2015, diawali dengan dua peringatan besar. Petama, peringatan Tahun Baru Masehi. Kedua, peringatan hari kelahiran baginda Rasul, Muhammad saw. Peringatan pertama berkaitan dengan pesta khusus kaum Nasrani (Kristen). Sedang yang kedua, khusus untuk umat Islam.

Namun apa yang terjadi? Dunia -khususnya dunia Islam- terbolak-balik, seiring dengan kekacauan penguasa politik dan ekonomi di negeri-negeri Muslim. Di Saudi, Mufti besar Saudi mengeluarkan fatwa yang mengharamkan agenda perayaan Maulid Nabi. Saya setuju jika perayaan yang dimaksud adalah perayaan yang mengandung kemusyrikan atau unsur pengkultusan kepada pribadi Muhammad saw. Namun tidak setuju, untuk agenda-agenda peringatan yang erat kaitannya dengan tadzkiroh bagi umat, tentang sosok mulia baginda Muhammad, perjuangan hidup dan misi dakwah beliau. Terlebih saat ini, umat Islam terpedaya dengan suri teladan yang menyesatkan.

Di sisi lain, Mufti Saudi tutup mata dan telinga atas perayaan besar-besaran acara Tahun Baru-an di Uni Emirates Arab. Perayaan dilangsungkan oleh negara, menelan anggaran 500 juta US dollar. Perayaan terbesar sepanjang sejarah, yang tidak pernah dilakukan oleh Vatikan atau Eropa sekalipun. Padahal kita semua tahu, UEA adalah negara Arab, berpenduduk Muslim, berbahasa Arab, dan secara geografi lebih dekat ke Mekkah (Kiblat dan terdapat Baitullah) daripada ke Vatikan.

Ajaib! 500 juta dollar AS, cukup besar untuk merekonstruksi Gaza, menyantuni pengungsi Syiria, atau membangun sekolah-sekolah di seluruh dunia Islam. Pertanyaannya, apakah misi besar dari perayaan Tahun Baru di UAE dan sekitarnya? Adakah misi lain selain misi budaya? Saya yakin lebih. Ada misi politik. Dimana gaya hidup bangsa Arab di Teluk sudah seperti yang disabdakan Nabi, "Membunuhi penganut Tauhid, namun memuja-muji penyembah berhala."

Oleh karena itu bagi saya, ada baiknya para ulama tidak sekedar mengkaji peringatan Maulid Nabi hanya dari kacamata FIQH. Namun coba kaji dari Maqashid Syariah, Fiqh Siyasi, atau Fiqh Nawazil yang sudah makruf di kalangan alim ulama. Karena fakta di lapangan kini, umat Islam tak mengenal Nabi-nya secara tepat dan akurat. Terlebih dengan banyaknya ajaran-ajaran sesat berbaju Islam, yang kini membuat umat Islam memahami Islam semakin berat. Siapa yang disalahkan kecintaan kepada Nabi dan risalahnya semakin pudar?

"Sang Nabi ﷺ"



Sekenal apa kita pada Sang #Nabi ﷺ? Mohon izin merangkum beberapa sifat beliau dari hadits-hadits dalam Asy Syamail karya Imam At Tirmidzi:

1. Perawakan Sang #Nabi ﷺ tidak tinggi, tidak pendek. Rambutnya tidak keriting, tak pula lurus. Wajah beliau tak bulat, bukan pula persegi.

2. Kulit Sang #Nabi ﷺ cerah, putih kemerah-merahan. Rambutnya disisir ketika sebahu, digerai ketika sepapak daun telinga. Dahi beliau lebar.

3. Alis Sang #Nabi ﷺ melengkung panjang, tebal, & nyaris bertaut di tengah. Di antara keduanya terdapat urat yang memerah kala beliau marah.

4. Bola mata Sang #Nabi ﷺ indah & hitam, bulu matanya lentik menawan. Hidungnya mancung, bagian atasnya memancar cahaya. Dua pipinya datar.

5. Janggut Sang #Nabi ﷺ menggaris dari depan telinga, menebal menuju dagu. Mulutnya lebar, gigi-giginya besar, dari selanya memancar cahaya.

6. Dari bawah janggut Sang #Nabi ﷺ menggalur ke bawah bebulu halus, lewat leher, melebat di dada, melajur bagai tongkat hingga ke pusarnya.

7. Leher Sang #Nabi ﷺ jenjang & indah. Perut beliau sama rata dengan dadanya nan bidang. Jarak antara kedua bahu lebar. Persendiannya kokoh.

8. Lengan Sang #Nabi ﷺ panjang, tapak tangan lebar & tebal, jemarinya ramping. Telapak kaki beliau cekung, halus hingga airpun tak menempel.

9. Sang #Nabi ﷺ berjalan dengan langkah kaki lebar, begitu langsam seolah menuruni bukit, tubuh beliau ikut berguncang anggun tiap langkah.

10. Bila menoleh, #Sang Nabi ﷺ berbalik dengan seluruh badan, lebih sering menunduk dibanding mendangak, melihat dengan sepenuh perhatian.

11. Dulu #Nabi ﷺ suka menyisir rambut ke belakang mirip Ahli Kitab. Saat nyata keingkaran mereka, beliau selisihi dengan menyisir belahnya.

12. Sang #Nabi ﷺ suka meminyaki rambutnya. Kata Anas, uban beliau nan kurang dari 20 helai jadi tersamar. Beliau gemar merapikan janggutnya.

13. Sang #Nabi ﷺ menyukai celak itsmid yang beliau gunakan menjelang tidurnya. Tiga kali untuk kanan & kiri; sejuk & menumbuhkan bulu mata.

14. Di antara pakaian kesukaan Sang #Nabi ﷺ adalah gamis yang putih, hibarah merah buatan Yaman, & baju sampir 2 helai warna hijau & hitam.

15. Sang #Nabi ﷺ berminyak wangi di seluruh tubuhnya. Istri beliau mengoleskan di sekujur badan, lalu beliau sendiri harumkan bagian ‘aurat.

16. Jari manis Sang #Nabi ﷺ dilingkari cincin perak bermata batu hitam Habasyah, ditulisi “Muhammad Rasul Allah”; dilepas jika ke Peturasan.

17. Sang #Nabi ﷺ menyimpan selalu selimut Khadijah; kenangan menenangkan saat beliau terguncang wahyu pertama, & di dalamnya beliau diseru.

18. Sang #Nabi ﷺ gesit berolahraga lari. Kadang bersama istri. Kadang anak-anak kecil; beliau lombakan siapa dulu yang mampu tangkap beliau.

19. #Nabi ﷺ suka minum susu dari wadah yang sama dengan istrinya, ditepatkan di bekas bibirnya. Anggur, zaitun, & buah lain; segigit berdua.

20. Tidur Sang #Nabi ﷺ tidak tengkurap. Jika miring berbantal tapak tangan, kaki disilang. Jika telentang, kaki kanan diletak di atas kiri.

21. Kadang dalam renung khusyu’, Sang #Nabi ﷺ duduk dengan 1 lutut diangkat menempel perut. Suka bersandar bantal, tapi bukan di saat makan.

22. #Nabi ﷺ suka mandi bersama & bercanda bermain air dengan istri-istrinya, bahkan pada Saudah nan tua. Usia tak menghalangi kemesraan itu.

23. Penutup kepala kesayangan #Nabi ﷺ ialah surban hitam, dikenakan dengan ujung menjatuh di pundak. Sandalnya bertali dua dari kulit hewan.

24. Makanan kesukaan #Nabi ﷺ -yang jarang beliau nikmati- adalah paha kambing. Camilannya hais; campuran kurma rendam, kismis, & susu masam.

25. #Nabi ﷺ yang penuh cinta memberi nama bebarang miliknya; dari perkakas rumah-tangga, bejana, gelas, kuda, unta, keledai, pedang, tombak.

26. #Nabi ﷺ makan roti dari tepung utuh tak diayak (dulu dianggap rendah; kini sehat berserat), lauknya garam, minyak zaitun, cuka, & labu.

27. #Nabi ﷺ tak pernah mencela makanan. Jika menyukainya, beliau memakannya penuh syukur. Jika tidak suka, beliau cukup diam tanpa komentar.

28. #Nabi ﷺ mengerjakan sendiri segala urusan rumahtangga yang beliau bisa; menambal baju sobek, menjahit sandal rusak, hingga memerah susu.

29. #Nabi ﷺ amat suka bersiwak bersih gigi; saat hendak shalat, hendak tilawah, hendak menemui tamu/sahabat, juga tiap kali menjumpai istri.

30. #Nabi ﷺ tak pernah jijik pada istri yang sedang haidh (seperti kebiasaan Arab & Yahudi); beliau tetap bermesra, hanya menghindari jima’.

31. Saat ‘Aisyah haidh, #Nabi ﷺ bersandar di pangkuannya sambil tilawah; atau meletakkan kepala di antara kaki ‘Aisyah, tidur dalam hangat.

32. Bahkan tuk shalat malam, #Nabi ﷺ minta izin pada istri nan lagi bersama di ranjang; “Apa kau ridha jika malam ini aku menghadap Rabbku?

33. Karena sempitnya kamar #Nabi ﷺ, tahajjud beliau menghadap ‘Aisyah berbaring. Jika hendak sujud, diisyarati kaki sang istri agar ditekuk.

34. Sang #Nabi ﷺ amatlah pemalu, lebih tersipu dibanding gadis dalam pingitannya. Tak pernah terbahak, hanya senyum tulusnya semanis madu.

35. Sang #Nabi ﷺ tak suka diistimewakan. Jika berbagi peran di perjalanan beliau selalu mencari peluang berkontribusi; hatta menyiapkan api.

36. Jika dihadapkan pada pilihan, Sang #Nabi ﷺ selalu mengambil hal yang ringan & mudah; selama ia tak jatuh pada apa yang dilarang Allah.

37. “Tak pernah kulihat”, kata Anas, “#Nabi ﷺ marah atau membalas laku buruk atas diri beliau. Beliau marah jika Allah & agamaNya dinista.”

38. “Pernah 3 x hilal berlalu”, ujar ‘Aisyah, “Tiada nyala api di rumah kami.” Apa penyambung hidup #Nabi ﷺ?, tanya ‘Urwah. “Kurma & air .”

39. Kelembutan Sang #Nabi ﷺ tak terhalangi & tak menghalangi ibadahnya. Umamah binti Abil ‘Ash, sang cucu, sering digendong dalam shalatnya.

40. Al Husain naik ke punggung #Nabi ﷺ saat sujud. Beliau tak bangkit hingga Al Husain puas bermain. Nanti, beliau minta maaf pada hadirin.

41. Saat para cucu jadikan #Nabi ﷺ kuda-kudaan, merangkak kian-kemari, kata Abu Hurairah, “Tunggangan kalian paling mulia di langit & bumi”.

42. #Nabi ﷺ lalu tersenyum bersabda, "Pun penunggangnya, adalah yang terbaik." Ya Allah, curahi kami rahmatMu tuk kelak bersamanya di surga.

*dari twit @salimafillah (12 Rabiul Awwal 1436 H)

Popular Posts