Featured Article

Selasa, 18 November 2014

'Ya Allah, jangan biarkan hati kami dingin melihat kemunkaran'


Berapa orangkah yang telah membunuh unta mu'jizat Nabi Shaleh?

Jawabannya: Hanya satu orang saja. Dialah Qudar bin Salif. Manusia paling celaka, yang sangat berani berbuat kejahatan.

( فنادوا صاحبهم فتعاطي فعقر )

"Maka mereka memanggil kawannya, lalu dia menangkap unta itu dan memotongnya" (al Qamar: 29)

Lalu berapa orang yang ikut serta dalam perencanaan dan yang menggembosi terhadap penyembelihan unta tersebut?

Jawabannya: Sembilan orang saja.

(وكان في المدينة تسعة رهط يفسدون في الارض ولا يصلحون )

"Dan di kota itu ada sembilan orang laki-laki yang berbuat kerusakan di bumi, mereka tidak melakukan perbaikan". (an Naml: 48)

Apakah Allah mengazab sembilan atau sepuluh orang itu saja terhadap perbuatan yang sangat tercela tersebut?

Jawabannya: Tidak, Allah tidak mengazab mereka saja, akan tetapi Allah membinasakan seluruh bangsa Tsamud.

(فأخذتهم الرجفة فأصبحوا في دارهم جاثمين)

"Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka". (al A'raf: 78)

Berdasarkan itu:

Pembunuh, pemberi legitimasi, yang diam saja terhadap kejahatan, tidak mendukung kebenaran dan yang setuju atas pembunuhan itu, semuanya sama di hadapan Allah. Allah mengazab mereka semua dengan azab yang sangat-sangat mengerikan.

Oleh sebab itu, kita tidak akan diam terhadap kemungkaran yang nyata di hadapan mata. Sekalipun para durjana kegerahan atas itu semua.

Ya Allah, jangan biarkan hati kami dingin melihat kemungkaran dan kebinasaan.

(Zulfi Akmal)

Dan Rasulullah pun meninggalkan Abu Bakar...



Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa suatu sorang lelaki tiba-tiba datang & mencaci maki Abu Bakar, sehingga membuat Rasulullah Saw yang tengah duduk didekatnya merasa heran dan tersenyum.

Namun ketika umpatan lelaki itu semakin banyak, Abu Bakar terpancing untuk melontarkan balasan, dan Rasulullah pergi meninggalkannya.

Abu Bakar segera beranjak dari tempatnya dan bertanya, "Ya Rasulullah, saat dia mencaci maki saya engkau tetap duduk. Tetapi saat saya membalas sebagian caci makinya engkau marah dan langsung berdiri, kenapa?"

Rasulullah Saw menjawab "Sebenarnya (saat engkau dicaci maki) ada malaikat bersamamu, dan dialah yang membalas makian orang itu. Tetapi saat engkau membalasnya, pergilah malaikat dan datanglah setan, dan aku tidak hendak duduk bersama setan."

Setelah itu Rasulullah Saw berkata "Hai Abu Bakar, ada tiga hal dan semuanya adalah haq;

1) Setiap hamba yang dizalimi dan itu memang layak baginya, lalu ia membiarkannya karena Allah 'Azza wa Jalla, pasti (dengan itu) Allah akan menolongnya.

2) Setiap orang yang membuka pintu memberi demi menyambung silaturahmi, pasti (dengan itu) Allah akan memberinya tambahan yang banyak,

3) Dan setiap hamba yang membuka pintu meminta untuk memperbanyak hartanya, pasti (dengan itu) Allah 'Azza wa Jalla akan menambah kekurangan padanya"

~ HR Ahmad

*dari fb Abu Qomar Al Faruq

'Karena 1 orang Presiden malas mikir'


Kenaikan harga BBM, nelayan menjerit. Anak-anak pedalaman terancam putus sekolah. Tarif Angkot langsung melejit. Cabe rawit melangit. Orang kaya masih bisa tertawa, tapi orang susah makin resah.

Ini bukan sekedar harga BBM naik, tapi apa-apa kemudian langsung ikut naik sedang penghasilan gak ikutan naik.

Kalau ganti presiden baru tapi tak ada cara-cara baru dalam mengelola negara.. lantas buat apa ada Pilpres yang menghabiskan Triliunan rupiah dari uang rakyat? (Baca: Anggaran Pilpres 2014 Rp 7,9 Triliun)

"Karena 1 org presiden malas mikir, harus ada jutaan org yg pusing. Berpikir utk bertahan hidup," ujar @hafidz_ary.

Nambah satu org miskin saja sdh satu kezaliman, bagaimana dg 8 jt org miskin baru sbg dampak kenaikan BBM? #sadis

Ada 8 jt org miskin yg sensitif dg kenaikan biaya hidup di level ratus ribu rupiah. pikirin pusingnya mrk.

Pemerintah merasa rugi mensubisidi rakyat, dan merasa beruntung ketika disubsidi rakyat. Rezim pemalas mikir.

Tunaikan dulu kewajiban, baru minta hak. Ini pemerintah malas dan zhalim.

Negara memang selayaknya mensubsidi rakyat, bukan kebalik negara yg menuntut disubsidi rakyat.

Kalo fokusnya anggaran dan tdk fokus pada perbaikan kebijakan ttg energi, maka naik bbm berikutnya cuma nunggu waktu lagi.

Apa kenaikan BBM 2000 rupiah berarti kenaikan biaya hidup sebanyak 2000 x kebutuhan liter bensin per bulan? Ndak kan?

Tapi juga kenaikan ongkos angkutan per bulan, kenaikan makan per bulan, kenaikan listrik per bulan, dll ... Dikali jumlah anggota keluarga.

Di Indonesia, kenaikan BBM sgt sensitif thdp yg lain. Harga angkutan, harga kebutuhan, harga produksi, daya beli, bs makan atau tdk.

Lalu dimakah Pasal 33 UUD 1945?

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Argumen Primitif Pendukung BBM Naik



HARI INI saya dengar argumen-argumen PRIMITIF pembela kenaikan BBM. Kalau dilihat latar belakang sebagai masyarakatnya, yaa biasa lah.. masyarakat umum namanya juga. Tapi kalau yang ngomong argumen primitif nya sekelas mentri?.. haduh,.. kok bisa sih?

Yang bukan dari mentri yang saya dengar (yang dari mentri nanti di bawah):

- Tenang aja, harga bensin toh tidak lebih mahal dari sebungkus rokok?
- Naik nya toh cuman 2000. Hanya seharga BAB atau BAK di WC umum.
- "Naik seharga parkir mobil aja berisik.."

Itu yang saya mewajarkan atas pendapat pendapat primitip. Ngga nyadar, kalau naik 2 rebu dari 6,5 rebu itu naik 30% lebih.

Nah yang mentri bagai mana?

Dia bilang: "Orang Miskin Jangankan Beli BBM, Punya Kendaraan Pun Mimpi"

Ini sama dengan bilang: BBM naik mah ngga ngaruh untuk orang miskin, toh mereka ga punya mobil/motor, punya kendaraan aja mimpi.. ngga ngaruh karena mereka ga perna beli bensin.

Haduh pak. Pak, masa sih pejabat sekelas bapak ngomong begini.. Tukang sayur yang SD ngga lulus aja tau BBM naik, semua barang naik.. termasuk biaya makan. Orang kaya mah adem adem aja.. orang miskin yang ngutang nya tambah gede.

(Deddy Armyadi)

Senin, 17 November 2014

Ahnaf Bin Qais : Sang Pemimpin Bani Tamim


Kota Damaskus sedang tersenyum manis menyambut datangnya musim semi. Berbangga dengan kesuburan tanah dan taman-tamannya yang indah berseri.

Hari itu Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan sedang bersiap menerima para utusan di istana. Ketika kesempatan pertama dibuka, Ummul Hakam binti Abi Sufyan segera menempati tempat duduknya di balik tabir. Dari situ dia bisa mendengarkan pembicaraan-pembicaraan dalam majelis kakaknya tentang hadits-hadits Nabi saw. Dia mengisi dirinya dengan apa-apa yang didengarnya dari penasihat istana, laporan tentang berbagai hal, berita yang aneh-aneh, syair-syair yang indah atau hikmah-hikmah.

Tidak seperti biasanya, Ummul Hakam mendapati bahwa tamu pertamanya kakaknya membawa suasana agak tegang dan terasa menggetarkan. Dia mendengarkan kakaknya berkata, “Demi Allah, wahai Ahnaf, setiap kali aku ingat perang Shiffin dan betapa Anda memihak kepada Ali bin Abi Thalib kemudian meninggalkan kami, rasa kesal di hatiku tidak akan terobati.”

Lawan bicaranya tak kalah tegas menjawab, “Demi Allah, wahai Muawiyah, rasa benci pun masih melekat di hati kami dan pedang-pedang yang kami pakai untuk melawan Anda masih ada di tangan. Bila Anda maju satu langkah kami akan maju sepuluh langkah, bila Anda maju dengan berjalan, maka kami akan maju dengan berlari. Demi Allah, kami ke sini bukan untuk mengemis dari Anda atau karena gentar karena murka Anda. Kami datang kemari untuk menguatkan hubungan yang retak di antara kita, menyatukan pendapat dan menyatukan kaum muslimin", setelah itu tamu tersebut mohon diri.

Rasa penasaran muncul di benak Ummul Hakam. Disingkapkanlah tabir penutup untuk melihat siapa orang yang bersikap kasar terhadap khalifah itu. Ternyata dia adalah seorang yang betubuh kecil, kepalanya botak, dagunya miring, matanya cekung dan kedua kakinya bengkok ke dalam. Tiada kekurangan jasa yang dimiliki manusia melainkan dia mendapat bagiannya.
Ummul Hakam menoleh kepada kakaknya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang itu? Berani benar mengancam khalifah di rumahnya.” Muawiyah menghela nafas panjang lalu berkata, “Begitulah, jika dia sedang marah niscaya seratus ribu penduduk Bani Tamim akan ikut marah tanpa tahu sebabnya. Dia adalah Ahnaf bin Qais, pemuka Bani Tamim dan pahlawan bangsa Arab.”

Marilah kita telusuri kisah Ahnaf bin Qais dari awalnya.

Tahun ketiga sebelum Hijriyah, Qais bin Muawiyah As-Sa’di mendapatkan karunia seorang laki-laki. Dia diberi nama Adh-Dhahak, tapi orang-orang menyebutnya Ahnaf karena kakinya yang bengkok (seperti huruf X), suatu julukan yang memang lebih pas daripada namanya sendiri. Sehingga julukan itu seakan menjadi namanya sendiri.

Ayahanda Ahnaf bernama Qais bukanlah seorang pemuka dari kaumnya. Bukan pula dari golongan yang rendah. Kedudukan mereka adalah pertengahan. Ahnaf lahir di sebelah barat Yamamah, tepatnya di daerah Najd. Ahnaf kecil tumbuh sebagai Yatim karena ayahnya terbunuh ketika ia masih sangat kecil. Cahaya Islam bersinar di hati bocah itu sejak dia belum tumbuh kumisnya.

Rasulullah saw pernah mengutus beberapa sahabatnya kepada kaum Ahnaf bin Qais beberapa tahun sebelum wafatnya untuk menyeru mereka kepada Islam. Mereka menjumpai tokoh-tokoh kaum itu sambil memberikan dorongan iman dan menawarkan Islam.

Orang-orang itu terdiam sejenak mendengar ajakan para sahabat. Mereka berpandang-pandangan ketika Ahnaf muda yang juga hadir angkat suara, “Wahai saudara-saudaraku, mengapa kalian mesti ragu? Demi Allah utusan yang datang kepada kalian ini adalah sebaik-baik utusan. Mereka mengajak kepada akhlak yang luhur dan melarang yang cela. Demi Allah, tiada yang kita dengar dari mereka selain kebaikan, maka sambutlah seruan hidayah ini, niscaya kalian akan bahagia dunia dan akhirat.”

Ahnaf menuturkan ceritanya, “Suatu kali pada pemerintahan Umar bin Khathab, aku sedang melakukan thawaf di Baitul ‘Atiq dan berjumpa dengan seseorang yang sudah aku kenal. Dia memegang tanganku seraya berkata, “Maukah aku berikan gabar gembira kepada Anda?” Aku berkata, “Ya, tentu saja.” Dia berkata, “Ingatkah Anda sewaktu aku diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyeru kaum Anda kepada Islam? Saya membujuk mereka dan menawarkan Islam, kemudian Anda mengatakan sesuatu kepada mereka?” aku menjawab, “Ya, aku ingat.” Dia melanjutkan, “Setibanya saya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan tentang apa yang Anda katakan, beliau berdo’a, “Ya Allah, berikan ampunanmu kepada Ahnaf.”
Maka Ahnaf berkata, “Tidak ada satupun dari amalanku yang aku harap bisa lebih bermanfaat di hari kiamat kecuali do’a Nabi saw itu.”

Sesudah wafatnya Rasulullah saw, muncul Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang menyesatkan orang lain dengan kedurhakaannya. Sehingga banyak orang yang murtad karenanya. Bersama pamannya Mutasyamas, Ahnaf datang untuk mencari kejelasan tentang hal itu. Ketika itu Ahnaf sedang menginjak usia remaja.
Saat perjalanan pulang sang paman bertanya kepada Ahnaf, “Bagaimana pendapat Anda tentang orang tadi?” Ahnaf berkata, “Kulihat dia adalah pembohong besar kepada Allah dan manusia.” Paman berkata sambil bergurau, “Engkau tidak takut bila aku laporkan kepadanya?”
Ahnaf berkata, “Kalau begitu aku nanti akan bersumpah kepada paman di hadapannya, maka apakah Anda berani bersumpah bahwa Anda tidak akan mendustakannya sebagaimana diriku?” Mereka berdua tertawa dan tetap dalam keislamannya.

Mungkin Anda heran dan takjub akan ketegasan Ahnaf dalam mensikapi perkara-perkara besar, kendati dia masih berusia muda.
Namun bisa jadi keheranan Anda akan watak kerasnya akan luntur manakala Anda mengetahui manakala pemuda Bani Tamim ini ternyata adalah seorang yang tajam analisanya, cerdas otaknya, tepat pandangannya dan suci jiwanya.

Ahnaf bin Qais juga mendapatkan kesempatan emas untuk belajar kepada para sahabat, terutama adalah kepada Al-Faruq Umar bin Khathab.
Beliau pernah ditanya darimana memperoleh wibawa dan hikmah. Beliau menjawab, “Dari kalimat-kalimat yang aku dengar dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang berkata:
Barangsiapa yang banyak bergurau akan hilang wibawanya
Barangsiapa berlebih-lebih dalam suatu hal, dia akan dikenal dengan kebiasaannya.
Barangsiapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya.
Barangsiapa banyak salahnya, berkuranglah rasa malunya.
Barangsiapa berkurang rasa malunya berkurang pula sifat wara’nya.
Dan barangsiapa sedikit sifat wara’nya maka matilah hatinya.

Ahnaf memiliki kedudukan terhormat di mata kaumnya. Meski beliau tidak memiliki jabatan yang tinggi, bukan pula ayah ibunya yang ditokohkan oleh kaumnya. Berkali-kali orang menanyakan kepadanya tentang rahasianya, di antara mereka bertanya, “Bagaimana kaum Anda menganggapmu sebagai pemimpin wahai Abu Bahr?” beliau menjawab, “Barangsiapa memiliki empat hal, maka dia akan bisa memimpin kaumnya dan tak akan terhalang mendapatkan kedudukan itu.” Orang itu betanya, “Apakah empat hal itu?” beliau menjawab, “Agama sebagai perisainya, kemuliaan yang menjaganya, akal yang menuntunnya dan rasa malu yang mengendalikannya.”

Dikisahkan bahwa Ahnaf dalam perjalanan pulang berjalan kaki seorang diri di pinggiran kota Bashrah. Tiba-tiba seseorang menghadangnya dan mencacinya yang tidak enak didengar ditelinga. Tetapi Ahnaf terus saja berjalan dalam keadaan diam.

Ketika hampir mencapai wilayah kaumnya, dia menolah kepada orang tadi dan berkata, “Wahai putra saudaraku, bila di hatimu masih tersimpan ganjalan-ganjalan terhadapku, silakan dilontarkan di sini semua, sebab bila ada di antara kaumku yang mendengar makianmu, niscaya mereka akan menghajarmu.”

Ahnaf juga termasuk orang yang tekun beribadah, puasa dan zuhud dengan apa-apa yang dimiliki orang lain. Bila malam mulai gelap, beliau menghidupkan lentera dan menaruhnya di sisinya. Setelah itu mulailah dia shalat di mihrabnya, berdiri gemetaran seperti orang sakit sambil menangis karena takutnya akan adzab dan murka Allah.

Setiap kali beliau teringat dosa-dosa atau cacat dan celanya, dia letakkan jarinya di atas api sambil berkata, “Hai Ahnaf, rasakanlah ini, apa yang membuat Anda berbuat seperti itu pada hari itu dan saat itu! Celakalah engkau, Ahnaf! Bila engkau tak tahan panasnya api lentera ini dan tidak bisa bersabar, bagaimana mungkin engkau bisa tahan dengan panasnya api neraka dan bisa bersabar dengan pedihnya?! Ya Allah, bila engkau memberiku maghfirah, memang Engkaulah yang berhak untuk itu, bila Engkau siksa aku, memang itu layak bagiku dan Engkau yang berkuasa akan hal itu.”

Semoga Allah meridhai Ahnaf, karena dia adalah tokoh teladan di setiap zaman dan contoh yang istimewa bagi manusia.

(Sumber: Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan)

Kamis, 13 November 2014

Benar Dulu Baru Manfaat

Yang netral dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun keburukan. Nilainya tergantung pada penggunaan. Ini serupa dengan perkara mubah dalam agama. Yang haq dapat dipergunakan untuk kebaikan, pun keburukan. Kita menjumpai orang yang menggunakan kalimat haq untuk tujuan bathil. Apa ia katakan adalah kebenaran, tetapi dipergunakan dalam rangka mendukung kebathilan. Yang demikian ini serupa dengan ibadah fardhu; orang dapat mengerjakan tapi bukan dalam rangka taat. Selain itu, orang dapat melakukan untuk niat yang salah. Maka dalam hal ini, dua hal yang diperlukan, yakni benar dalam melaksanakan dan lurus dalam niat.

Adapun yang bathil, digunakan untuk kebaikan pun tetap bernilai bathil. Itu sebabnya, sebelum mengamalkan, kita perlu tahu haq atau bathil. Meskipun kita pergunakan untuk kebaikan, apa yang pada asalnya bathil, tetaplah tidak menghasilkan kebaikan. Ini serupa dengan orang yang berinfaq-shadaqah dari harta yang haram. Ia mencuri, ia korupsi, dan ia mempergunakan sebagian hartanya untuk beramal. Meski dipergunakan untuk melakukan amal shalih, tetapi ia tetap terhitung salah.

Maka, penting sekali mengetahui haq ataukah bathil yang kita pelajari, termasuk untuk pengembangan diri. Bukan bergantung pada persepsi. Haq maupun bathil ukurannya adalah ketetapan dalam agama sebagaimana dapat kita temukan dalam nash yang shahih, yakni Al-Quranul Kariim dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Nash sesuai dengan pemahaman yang benar itulah dasarnya. Bukan persepsi. Bukankah orang yang paling merugi justru karena begitu meyakini persepsinya tentang kebenaran? Bukan menakar berdasarkan petunjuk yang haq.

Ingatlah sejenak firman Allah Ta'ala:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" (QS. Al-Kahfi, 18: 103).


Selanjutnya, firman Allah:

الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

"Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahfi, 18: 104).


Apa pelajaran yang dapat kita ambil dari Al-Qur'an surat Al-Kahfi ayat 104 ini? Jangan bergantung pada persepsi. Pastikan dulu bahwa itu haq sebelum mengambil, memegangi dan mengamalkan. Jangan pula memudah-mudahkan diri dalam mengambil apa yang disangkakan sebagai ilmu hanya berbekal qiyas, "Seperti pisau, tergantung kita pergunakan untuk apa. Jika kita pakai untuk memasak, ia menjadi kebaikan. Tapi jika kita gunakan untuk menyiksa binatang, ya itu keburukan."

Bagaimana kita akan menganalogikan keyakinan dengan pisau, padahal keduanya sangat jauh berbeda. Pada keyakinan, di dalamnya sudah terdapat nilai. Sementara pisau merupakan benda yang bersifat netral. Menyamakan keduanya bersebab gegabah melakukan qiyas (analogi) akan menggelincirkan kepada syubhat, yakni meyakini apa yang bathil sebagai kebenaran dan kebaikan.

Sesungguhnya salah satu sumber syubhat dalam mengikuti keyakinan, aqidah lain maupun pseudoscience adalah karena menganggap itu semua sebagai ilmu yang teruji secara "ilmiah". Padahal kita perlu bedakan antara bukti (evidence) dan pembuktian (proofing). Apa yang ditunjukkan dalam pembuktian tidak berarti bukti itu ilmiah.

Dari sisi agama, keyakinan dasar yang harus kita pegang sangat sederhana: sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur'an. Maka takarlah dengannya. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Maka jika datang trik, teknik atau keyakinan baru, meskipun berkait dengan pengembangan diri, periksalah apakah ia bersesuaian dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah atau tidak. Inilah yang pokok. Bukan mengagumi dan meyakini dulu apa yang dianggap sebagai pendekatan ilmu pengetahuan modern, lalu mencari pembenaran Al-Qur'an dan hadis.

Begitu pun menyamakan pendekatan dalam NAM dengan ilmu hukum merupakan sikap gegabah. Sebab yang harus ditelisik dulu adalah benar salahnya. Islam mengajarkan kepada kita untuk menakar dulu benar atau salah, baru mengambil manfaat. Bukan menimbang manfaat dulu baru memperhatikan benar atau salahnya sesuatu. Bukankah miras (khamr) pun Allah Ta'ala nyatakan ada manfaatnya? Tapi Allah Ta'ala tegas mengharamkan. Begitu pula babi, sangat banyak manfaatnya. Bahkan jika dilihat dari manfaat, hampir seluruh bagian babi banyak manfaatnya. Tapi ia tetap haram secara mutlak.

Berkait salah satu cabang NAM, ada yang berkata, "Jangan asal menuduh. Ini nggak pakai jin, bagaimana bisa salah?"

Tidak memakai jin bukan otomatis benar. Pembicaraan tentang benar dan salah tidak bergantung pada penggunaan jin. Bukankah setan itu sesat meskipun tidak mengikuti jin. Justru jin yang akan sesat jika ikut setan. Maka, tidak pakai jin tidak serta-merta jadi benar.

(M Fauzhil Adhim)

Popular Posts