Kota Damaskus sedang
tersenyum manis menyambut datangnya musim semi. Berbangga dengan
kesuburan tanah dan taman-tamannya yang indah berseri.
Hari itu
Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan sedang bersiap menerima para
utusan di istana. Ketika kesempatan pertama dibuka, Ummul Hakam binti
Abi Sufyan segera menempati tempat duduknya di balik tabir. Dari situ
dia bisa mendengarkan pembicaraan-pembicaraan dalam majelis kakaknya
tentang hadits-hadits Nabi saw. Dia mengisi dirinya dengan apa-apa yang
didengarnya dari penasihat istana, laporan tentang berbagai hal, berita
yang aneh-aneh, syair-syair yang indah atau hikmah-hikmah.
Tidak
seperti biasanya, Ummul Hakam mendapati bahwa tamu pertamanya kakaknya
membawa suasana agak tegang dan terasa menggetarkan. Dia mendengarkan
kakaknya berkata, “Demi Allah, wahai Ahnaf, setiap kali aku ingat perang
Shiffin dan betapa Anda memihak kepada Ali bin Abi Thalib kemudian
meninggalkan kami, rasa kesal di hatiku tidak akan terobati.”
Lawan bicaranya tak kalah tegas menjawab, “Demi Allah, wahai Muawiyah,
rasa benci pun masih melekat di hati kami dan pedang-pedang yang kami
pakai untuk melawan Anda masih ada di tangan. Bila Anda maju satu
langkah kami akan maju sepuluh langkah, bila Anda maju dengan berjalan,
maka kami akan maju dengan berlari. Demi Allah, kami ke sini bukan untuk
mengemis dari Anda atau karena gentar karena murka Anda. Kami datang
kemari untuk menguatkan hubungan yang retak di antara kita, menyatukan
pendapat dan menyatukan kaum muslimin", setelah itu tamu tersebut mohon
diri.
Rasa penasaran muncul di benak Ummul Hakam. Disingkapkanlah
tabir penutup untuk melihat siapa orang yang bersikap kasar terhadap
khalifah itu. Ternyata dia adalah seorang yang betubuh kecil, kepalanya
botak, dagunya miring, matanya cekung dan kedua kakinya bengkok ke
dalam. Tiada kekurangan jasa yang dimiliki manusia melainkan dia
mendapat bagiannya.
Ummul Hakam menoleh kepada kakaknya dan
berkata, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang itu? Berani benar
mengancam khalifah di rumahnya.” Muawiyah menghela nafas panjang lalu
berkata, “Begitulah, jika dia sedang marah niscaya seratus ribu penduduk
Bani Tamim akan ikut marah tanpa tahu sebabnya. Dia adalah Ahnaf bin
Qais, pemuka Bani Tamim dan pahlawan bangsa Arab.”
Marilah kita telusuri kisah Ahnaf bin Qais dari awalnya.
Tahun ketiga sebelum Hijriyah, Qais bin Muawiyah As-Sa’di mendapatkan
karunia seorang laki-laki. Dia diberi nama Adh-Dhahak, tapi orang-orang
menyebutnya Ahnaf karena kakinya yang bengkok (seperti huruf X), suatu
julukan yang memang lebih pas daripada namanya sendiri. Sehingga julukan
itu seakan menjadi namanya sendiri.
Ayahanda Ahnaf bernama Qais
bukanlah seorang pemuka dari kaumnya. Bukan pula dari golongan yang
rendah. Kedudukan mereka adalah pertengahan. Ahnaf lahir di sebelah
barat Yamamah, tepatnya di daerah Najd. Ahnaf kecil tumbuh sebagai Yatim
karena ayahnya terbunuh ketika ia masih sangat kecil. Cahaya Islam
bersinar di hati bocah itu sejak dia belum tumbuh kumisnya.
Rasulullah saw pernah mengutus beberapa sahabatnya kepada kaum Ahnaf bin
Qais beberapa tahun sebelum wafatnya untuk menyeru mereka kepada Islam.
Mereka menjumpai tokoh-tokoh kaum itu sambil memberikan dorongan iman
dan menawarkan Islam.
Orang-orang itu terdiam sejenak mendengar
ajakan para sahabat. Mereka berpandang-pandangan ketika Ahnaf muda yang
juga hadir angkat suara, “Wahai saudara-saudaraku, mengapa kalian mesti
ragu? Demi Allah utusan yang datang kepada kalian ini adalah sebaik-baik
utusan. Mereka mengajak kepada akhlak yang luhur dan melarang yang
cela. Demi Allah, tiada yang kita dengar dari mereka selain kebaikan,
maka sambutlah seruan hidayah ini, niscaya kalian akan bahagia dunia
dan akhirat.”
Ahnaf menuturkan ceritanya, “Suatu kali pada
pemerintahan Umar bin Khathab, aku sedang melakukan thawaf di Baitul
‘Atiq dan berjumpa dengan seseorang yang sudah aku kenal. Dia memegang
tanganku seraya berkata, “Maukah aku berikan gabar gembira kepada Anda?”
Aku berkata, “Ya, tentu saja.” Dia berkata, “Ingatkah Anda sewaktu aku
diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyeru kaum Anda
kepada Islam? Saya membujuk mereka dan menawarkan Islam, kemudian Anda
mengatakan sesuatu kepada mereka?” aku menjawab, “Ya, aku ingat.” Dia
melanjutkan, “Setibanya saya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menceritakan tentang apa yang Anda katakan, beliau berdo’a,
“Ya Allah, berikan ampunanmu kepada Ahnaf.”
Maka Ahnaf berkata,
“Tidak ada satupun dari amalanku yang aku harap bisa lebih bermanfaat di
hari kiamat kecuali do’a Nabi saw itu.”
Sesudah wafatnya
Rasulullah saw, muncul Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang
menyesatkan orang lain dengan kedurhakaannya. Sehingga banyak orang
yang murtad karenanya. Bersama pamannya Mutasyamas, Ahnaf datang untuk
mencari kejelasan tentang hal itu. Ketika itu Ahnaf sedang menginjak
usia remaja.
Saat perjalanan pulang sang paman bertanya kepada
Ahnaf, “Bagaimana pendapat Anda tentang orang tadi?” Ahnaf berkata,
“Kulihat dia adalah pembohong besar kepada Allah dan manusia.” Paman
berkata sambil bergurau, “Engkau tidak takut bila aku laporkan
kepadanya?”
Ahnaf berkata, “Kalau begitu aku nanti akan bersumpah
kepada paman di hadapannya, maka apakah Anda berani bersumpah bahwa
Anda tidak akan mendustakannya sebagaimana diriku?” Mereka berdua
tertawa dan tetap dalam keislamannya.
Mungkin Anda heran dan takjub akan ketegasan Ahnaf dalam mensikapi perkara-perkara besar, kendati dia masih berusia muda.
Namun bisa jadi keheranan Anda akan watak kerasnya akan luntur manakala
Anda mengetahui manakala pemuda Bani Tamim ini ternyata adalah seorang
yang tajam analisanya, cerdas otaknya, tepat pandangannya dan suci
jiwanya.
Ahnaf bin Qais juga mendapatkan kesempatan emas untuk
belajar kepada para sahabat, terutama adalah kepada Al-Faruq Umar bin
Khathab.
Beliau pernah ditanya darimana memperoleh wibawa dan
hikmah. Beliau menjawab, “Dari kalimat-kalimat yang aku dengar dari
Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang berkata:
Barangsiapa yang banyak bergurau akan hilang wibawanya
Barangsiapa berlebih-lebih dalam suatu hal, dia akan dikenal dengan kebiasaannya.
Barangsiapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya.
Barangsiapa banyak salahnya, berkuranglah rasa malunya.
Barangsiapa berkurang rasa malunya berkurang pula sifat wara’nya.
Dan barangsiapa sedikit sifat wara’nya maka matilah hatinya.
Ahnaf memiliki kedudukan terhormat di mata kaumnya. Meski beliau tidak
memiliki jabatan yang tinggi, bukan pula ayah ibunya yang ditokohkan
oleh kaumnya. Berkali-kali orang menanyakan kepadanya tentang
rahasianya, di antara mereka bertanya, “Bagaimana kaum Anda menganggapmu
sebagai pemimpin wahai Abu Bahr?” beliau menjawab, “Barangsiapa
memiliki empat hal, maka dia akan bisa memimpin kaumnya dan tak akan
terhalang mendapatkan kedudukan itu.” Orang itu betanya, “Apakah empat
hal itu?” beliau menjawab, “Agama sebagai perisainya, kemuliaan yang
menjaganya, akal yang menuntunnya dan rasa malu yang mengendalikannya.”
Dikisahkan bahwa Ahnaf dalam perjalanan pulang berjalan kaki seorang
diri di pinggiran kota Bashrah. Tiba-tiba seseorang menghadangnya dan
mencacinya yang tidak enak didengar ditelinga. Tetapi Ahnaf terus saja
berjalan dalam keadaan diam.
Ketika hampir mencapai wilayah
kaumnya, dia menolah kepada orang tadi dan berkata, “Wahai putra
saudaraku, bila di hatimu masih tersimpan ganjalan-ganjalan terhadapku,
silakan dilontarkan di sini semua, sebab bila ada di antara kaumku yang
mendengar makianmu, niscaya mereka akan menghajarmu.”
Ahnaf juga
termasuk orang yang tekun beribadah, puasa dan zuhud dengan apa-apa yang
dimiliki orang lain. Bila malam mulai gelap, beliau menghidupkan
lentera dan menaruhnya di sisinya. Setelah itu mulailah dia shalat di
mihrabnya, berdiri gemetaran seperti orang sakit sambil menangis karena
takutnya akan adzab dan murka Allah.
Setiap kali beliau teringat
dosa-dosa atau cacat dan celanya, dia letakkan jarinya di atas api
sambil berkata, “Hai Ahnaf, rasakanlah ini, apa yang membuat Anda
berbuat seperti itu pada hari itu dan saat itu! Celakalah engkau, Ahnaf!
Bila engkau tak tahan panasnya api lentera ini dan tidak bisa bersabar,
bagaimana mungkin engkau bisa tahan dengan panasnya api neraka dan bisa
bersabar dengan pedihnya?! Ya Allah, bila engkau memberiku maghfirah,
memang Engkaulah yang berhak untuk itu, bila Engkau siksa aku, memang
itu layak bagiku dan Engkau yang berkuasa akan hal itu.”
Semoga Allah meridhai Ahnaf, karena dia adalah tokoh teladan di setiap zaman dan contoh yang istimewa bagi manusia.
(Sumber: Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan)