Featured Article

Minggu, 14 Desember 2014

Ketika Ceramah Yusuf Qardhawi Muda Diprotes Kyai Desa


Saat itu Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi masih duduk sebagai mahasiswa di Fakultas Ushuluddin. Beliau diundang ke sebuah desa untuk menyampaikan ceramah Ramadhan. Kebetulan malam itu adalah malam ke-27 Ramadhan, sebuah malam yang saat menjelang paginya terjadi Perang Badar. Maka, Yusuf Qardhawi pun menyampaikan ceramah dengan tema Perang Badar.

Jamaah masjid desa itu sangat antusias karena selama ini mereka tidak mendapatkan materi-materi seperti itu. Mereka memperoleh sesuatu yang baru, yang selama ini tertutupi bagi mereka. Namun, ternyata ada satu orang yang tidak suka dengan tema ceramah itu. Dan orang itu adalah Syaikh di desa itu; imam masjid tempat Yusuf Qardhawi berceramah.

Selama ini, Syaikh tersebut menyampaikan ceramah di bulan Ramadhan dengan pembahasan thaharah saja; utamanya wudhu. Di satu hari ia membahas adab beristinja’. Di hari berikutnya fardhu wudhu. Di hari yang lain sunnah wudhu, mustahabnya, yang membatalkannya, yang harus dihindari, air yang boleh digunakan untuk bersuci, yang tidak boleh digunakan, dan sebagainya. Maka, habislah ramadhan di desa itu untuk membahas masalah-masalah demikian.

Setelah ceramah selesai, Syaikh tersebut menemui Yusuf Qardhawi dan menyampaikan keberatannya: “Ustadz! Pembicaraanmu sangat mengagumkan, tetapi akan lebih bermanfaat jika mereka pada malam ini diajarkan tentang urusan agama mereka”

Yusuf Qardhawi balik bertanya, “Apakah sirah Rasulullah dan peperangan beliau bukanlah merupakan urusan agama mereka? Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Kami menceritakan anak-anak kami tentang peperangan Rasulullah sebagaimana kami mengajarkan mereka surat Al-Qur’an!”
Ia berkata, “Maksud kami, mereka belajar bagaimana tata cara wudhu dan mandi, mereka juga mengetahui beberapa syarat, kewajiban, dan sunnahnya, dan sebagainya, di mana shalat tidak akan sah tanpa mengetahui hal tersebut.”

Yusuf Qardhawi kembali bertanya, “Wahai Tuan Syaikh! Tuan hafal Al-Qur’an. Adakah Tuan dapat menjawab pertanyaan kami: dalam berapa ayat Allah menyebutkan urusan wudhu, mandi, dan lainnya seputar urusan bersuci?” Syaikh tersebut diam. Lalu Yusuf Qardhawi melanjutkan, “Sesungguhnya hanya satu ayat yang semua berkumpul di situ. Allah berfirman,
‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai pada siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai pada kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Ia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.’ (QS. Al-Maidah : 6)

Lalu Yusuf Qardhawi bertanya lagi, “Dan dalam berapa surat Allah menyebutkan urusan jihad dan berperang di jalan Allah?”
Syaikh tadi diam, lalu dijawab sendiri oleh Yusuf Qardhawi, “Sesungguhnya kita mempunyai kumpulan-kumpulan surat Al-Qur’an yang diwahyukan beberapa nama dan lingkup temanya –yaitu jihad- diantaranya adalah: Al-Anfal, At-Taubah, Al-Ahzab, Al-Qital, Al-Fath, Ash-Shaf, Al-Hasyr, Al-Hadid, Al-‘Adiyat, dan An-Nashr. Dan ini bukan termasuk surat yang sangat banyak yang telah kami sampaikan beberapa ayatnya tentang peperangan seperti surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, dan sebagainya. Bagaimana kita membiarkan sesuatu yang menjadi perhatian Al-Qur’an dalam beberapa surat ini dan beberapa ayat yang sangat banyak. Sedangkan, kita hidup sebulan atau lebih hanya berputar dengan satu ayat.”

***

Apa yang terjadi di Mesir yang dijumpai Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi di atas juga masih terjadi di lingkungan kita. Betapa banyaknya kajian, tulisan, dan sebagainya yang mengkonsentrasikan pada masalah fiqih. Bukan semua pembahasan tentang fiqih, tetapi hanya sebagian (biasanya juga tentang thaharah) dan diulang-ulang. Sementara dianggap aneh jika ada pengajian yang menjelaskan tentang sirah nabawiyah dan jihad-jihad yang dilakukan Rasulullah.

Seorang kawan pernah menyampaikan protesnya karena di masyarakatnya pengajian hanya berkutat soal thaharah. Awalnya kajian dimulai, dan mengikuti banyak sistematika kitab fiqih, tema pertamanya adalah thaharah. Sekian lama kajian itu berlangsung, tetapi tidak juga beranjak ke pembahasan yang lain. Dan hasilnya, dalam rentang waktu bertahun-tahun, masyarakat tidak memahami Islam kecuali pada masalah thaharah saja. Kawan tadi juga mempertanyakan efektifitas dakwah seperti itu yang tidak pernah berbuah takwin as-syakhsiyah islamiyah; pembentukan pribadi muslim.

Al-Qur’an sebenarnya sudah menunjukkan manhaj dakwah kepada kita. Ia diturunkan selama 13-an tahun di Makkah, berbicara tentang Aqidah. Maka, inilah hal pertama yang harus menjadi konsentrasi dalam pembinaan umat, khususnya oleh gerakan Islam.

Selain melihat bagaimana sistematika wahyu, hal lain yang harus diambil dari manhaj Al-Qur’an adalah bagaimana perhatian Al-Qur’an terhadap masalah tertentu. Proporsi pembahasan Al-Qur’an seharusnya juga menjadi proporsi kita dalam berdakwah. Kadar perhatian Al-Qur’an yang besar terhadap suatu hal harus menjadikan kita juga memiliki perhatian besar terhadap hal tersebut.

Menutup renungan ini, sudahkan kita mengawali penerapan manhaj Al-Qur’an dalam mendidik anak-anak kita? Pertanyaan yang lebih praktis menyusul kisah nyata Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi di atas: Sudahkah kita menceritakan sejarah nabi dan jihad beliau kepada anak-anak kita?

Selasa, 18 November 2014

'Ya Allah, jangan biarkan hati kami dingin melihat kemunkaran'


Berapa orangkah yang telah membunuh unta mu'jizat Nabi Shaleh?

Jawabannya: Hanya satu orang saja. Dialah Qudar bin Salif. Manusia paling celaka, yang sangat berani berbuat kejahatan.

( فنادوا صاحبهم فتعاطي فعقر )

"Maka mereka memanggil kawannya, lalu dia menangkap unta itu dan memotongnya" (al Qamar: 29)

Lalu berapa orang yang ikut serta dalam perencanaan dan yang menggembosi terhadap penyembelihan unta tersebut?

Jawabannya: Sembilan orang saja.

(وكان في المدينة تسعة رهط يفسدون في الارض ولا يصلحون )

"Dan di kota itu ada sembilan orang laki-laki yang berbuat kerusakan di bumi, mereka tidak melakukan perbaikan". (an Naml: 48)

Apakah Allah mengazab sembilan atau sepuluh orang itu saja terhadap perbuatan yang sangat tercela tersebut?

Jawabannya: Tidak, Allah tidak mengazab mereka saja, akan tetapi Allah membinasakan seluruh bangsa Tsamud.

(فأخذتهم الرجفة فأصبحوا في دارهم جاثمين)

"Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka". (al A'raf: 78)

Berdasarkan itu:

Pembunuh, pemberi legitimasi, yang diam saja terhadap kejahatan, tidak mendukung kebenaran dan yang setuju atas pembunuhan itu, semuanya sama di hadapan Allah. Allah mengazab mereka semua dengan azab yang sangat-sangat mengerikan.

Oleh sebab itu, kita tidak akan diam terhadap kemungkaran yang nyata di hadapan mata. Sekalipun para durjana kegerahan atas itu semua.

Ya Allah, jangan biarkan hati kami dingin melihat kemungkaran dan kebinasaan.

(Zulfi Akmal)

Dan Rasulullah pun meninggalkan Abu Bakar...



Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa suatu sorang lelaki tiba-tiba datang & mencaci maki Abu Bakar, sehingga membuat Rasulullah Saw yang tengah duduk didekatnya merasa heran dan tersenyum.

Namun ketika umpatan lelaki itu semakin banyak, Abu Bakar terpancing untuk melontarkan balasan, dan Rasulullah pergi meninggalkannya.

Abu Bakar segera beranjak dari tempatnya dan bertanya, "Ya Rasulullah, saat dia mencaci maki saya engkau tetap duduk. Tetapi saat saya membalas sebagian caci makinya engkau marah dan langsung berdiri, kenapa?"

Rasulullah Saw menjawab "Sebenarnya (saat engkau dicaci maki) ada malaikat bersamamu, dan dialah yang membalas makian orang itu. Tetapi saat engkau membalasnya, pergilah malaikat dan datanglah setan, dan aku tidak hendak duduk bersama setan."

Setelah itu Rasulullah Saw berkata "Hai Abu Bakar, ada tiga hal dan semuanya adalah haq;

1) Setiap hamba yang dizalimi dan itu memang layak baginya, lalu ia membiarkannya karena Allah 'Azza wa Jalla, pasti (dengan itu) Allah akan menolongnya.

2) Setiap orang yang membuka pintu memberi demi menyambung silaturahmi, pasti (dengan itu) Allah akan memberinya tambahan yang banyak,

3) Dan setiap hamba yang membuka pintu meminta untuk memperbanyak hartanya, pasti (dengan itu) Allah 'Azza wa Jalla akan menambah kekurangan padanya"

~ HR Ahmad

*dari fb Abu Qomar Al Faruq

'Karena 1 orang Presiden malas mikir'


Kenaikan harga BBM, nelayan menjerit. Anak-anak pedalaman terancam putus sekolah. Tarif Angkot langsung melejit. Cabe rawit melangit. Orang kaya masih bisa tertawa, tapi orang susah makin resah.

Ini bukan sekedar harga BBM naik, tapi apa-apa kemudian langsung ikut naik sedang penghasilan gak ikutan naik.

Kalau ganti presiden baru tapi tak ada cara-cara baru dalam mengelola negara.. lantas buat apa ada Pilpres yang menghabiskan Triliunan rupiah dari uang rakyat? (Baca: Anggaran Pilpres 2014 Rp 7,9 Triliun)

"Karena 1 org presiden malas mikir, harus ada jutaan org yg pusing. Berpikir utk bertahan hidup," ujar @hafidz_ary.

Nambah satu org miskin saja sdh satu kezaliman, bagaimana dg 8 jt org miskin baru sbg dampak kenaikan BBM? #sadis

Ada 8 jt org miskin yg sensitif dg kenaikan biaya hidup di level ratus ribu rupiah. pikirin pusingnya mrk.

Pemerintah merasa rugi mensubisidi rakyat, dan merasa beruntung ketika disubsidi rakyat. Rezim pemalas mikir.

Tunaikan dulu kewajiban, baru minta hak. Ini pemerintah malas dan zhalim.

Negara memang selayaknya mensubsidi rakyat, bukan kebalik negara yg menuntut disubsidi rakyat.

Kalo fokusnya anggaran dan tdk fokus pada perbaikan kebijakan ttg energi, maka naik bbm berikutnya cuma nunggu waktu lagi.

Apa kenaikan BBM 2000 rupiah berarti kenaikan biaya hidup sebanyak 2000 x kebutuhan liter bensin per bulan? Ndak kan?

Tapi juga kenaikan ongkos angkutan per bulan, kenaikan makan per bulan, kenaikan listrik per bulan, dll ... Dikali jumlah anggota keluarga.

Di Indonesia, kenaikan BBM sgt sensitif thdp yg lain. Harga angkutan, harga kebutuhan, harga produksi, daya beli, bs makan atau tdk.

Lalu dimakah Pasal 33 UUD 1945?

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Argumen Primitif Pendukung BBM Naik



HARI INI saya dengar argumen-argumen PRIMITIF pembela kenaikan BBM. Kalau dilihat latar belakang sebagai masyarakatnya, yaa biasa lah.. masyarakat umum namanya juga. Tapi kalau yang ngomong argumen primitif nya sekelas mentri?.. haduh,.. kok bisa sih?

Yang bukan dari mentri yang saya dengar (yang dari mentri nanti di bawah):

- Tenang aja, harga bensin toh tidak lebih mahal dari sebungkus rokok?
- Naik nya toh cuman 2000. Hanya seharga BAB atau BAK di WC umum.
- "Naik seharga parkir mobil aja berisik.."

Itu yang saya mewajarkan atas pendapat pendapat primitip. Ngga nyadar, kalau naik 2 rebu dari 6,5 rebu itu naik 30% lebih.

Nah yang mentri bagai mana?

Dia bilang: "Orang Miskin Jangankan Beli BBM, Punya Kendaraan Pun Mimpi"

Ini sama dengan bilang: BBM naik mah ngga ngaruh untuk orang miskin, toh mereka ga punya mobil/motor, punya kendaraan aja mimpi.. ngga ngaruh karena mereka ga perna beli bensin.

Haduh pak. Pak, masa sih pejabat sekelas bapak ngomong begini.. Tukang sayur yang SD ngga lulus aja tau BBM naik, semua barang naik.. termasuk biaya makan. Orang kaya mah adem adem aja.. orang miskin yang ngutang nya tambah gede.

(Deddy Armyadi)

Senin, 17 November 2014

Ahnaf Bin Qais : Sang Pemimpin Bani Tamim


Kota Damaskus sedang tersenyum manis menyambut datangnya musim semi. Berbangga dengan kesuburan tanah dan taman-tamannya yang indah berseri.

Hari itu Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan sedang bersiap menerima para utusan di istana. Ketika kesempatan pertama dibuka, Ummul Hakam binti Abi Sufyan segera menempati tempat duduknya di balik tabir. Dari situ dia bisa mendengarkan pembicaraan-pembicaraan dalam majelis kakaknya tentang hadits-hadits Nabi saw. Dia mengisi dirinya dengan apa-apa yang didengarnya dari penasihat istana, laporan tentang berbagai hal, berita yang aneh-aneh, syair-syair yang indah atau hikmah-hikmah.

Tidak seperti biasanya, Ummul Hakam mendapati bahwa tamu pertamanya kakaknya membawa suasana agak tegang dan terasa menggetarkan. Dia mendengarkan kakaknya berkata, “Demi Allah, wahai Ahnaf, setiap kali aku ingat perang Shiffin dan betapa Anda memihak kepada Ali bin Abi Thalib kemudian meninggalkan kami, rasa kesal di hatiku tidak akan terobati.”

Lawan bicaranya tak kalah tegas menjawab, “Demi Allah, wahai Muawiyah, rasa benci pun masih melekat di hati kami dan pedang-pedang yang kami pakai untuk melawan Anda masih ada di tangan. Bila Anda maju satu langkah kami akan maju sepuluh langkah, bila Anda maju dengan berjalan, maka kami akan maju dengan berlari. Demi Allah, kami ke sini bukan untuk mengemis dari Anda atau karena gentar karena murka Anda. Kami datang kemari untuk menguatkan hubungan yang retak di antara kita, menyatukan pendapat dan menyatukan kaum muslimin", setelah itu tamu tersebut mohon diri.

Rasa penasaran muncul di benak Ummul Hakam. Disingkapkanlah tabir penutup untuk melihat siapa orang yang bersikap kasar terhadap khalifah itu. Ternyata dia adalah seorang yang betubuh kecil, kepalanya botak, dagunya miring, matanya cekung dan kedua kakinya bengkok ke dalam. Tiada kekurangan jasa yang dimiliki manusia melainkan dia mendapat bagiannya.
Ummul Hakam menoleh kepada kakaknya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang itu? Berani benar mengancam khalifah di rumahnya.” Muawiyah menghela nafas panjang lalu berkata, “Begitulah, jika dia sedang marah niscaya seratus ribu penduduk Bani Tamim akan ikut marah tanpa tahu sebabnya. Dia adalah Ahnaf bin Qais, pemuka Bani Tamim dan pahlawan bangsa Arab.”

Marilah kita telusuri kisah Ahnaf bin Qais dari awalnya.

Tahun ketiga sebelum Hijriyah, Qais bin Muawiyah As-Sa’di mendapatkan karunia seorang laki-laki. Dia diberi nama Adh-Dhahak, tapi orang-orang menyebutnya Ahnaf karena kakinya yang bengkok (seperti huruf X), suatu julukan yang memang lebih pas daripada namanya sendiri. Sehingga julukan itu seakan menjadi namanya sendiri.

Ayahanda Ahnaf bernama Qais bukanlah seorang pemuka dari kaumnya. Bukan pula dari golongan yang rendah. Kedudukan mereka adalah pertengahan. Ahnaf lahir di sebelah barat Yamamah, tepatnya di daerah Najd. Ahnaf kecil tumbuh sebagai Yatim karena ayahnya terbunuh ketika ia masih sangat kecil. Cahaya Islam bersinar di hati bocah itu sejak dia belum tumbuh kumisnya.

Rasulullah saw pernah mengutus beberapa sahabatnya kepada kaum Ahnaf bin Qais beberapa tahun sebelum wafatnya untuk menyeru mereka kepada Islam. Mereka menjumpai tokoh-tokoh kaum itu sambil memberikan dorongan iman dan menawarkan Islam.

Orang-orang itu terdiam sejenak mendengar ajakan para sahabat. Mereka berpandang-pandangan ketika Ahnaf muda yang juga hadir angkat suara, “Wahai saudara-saudaraku, mengapa kalian mesti ragu? Demi Allah utusan yang datang kepada kalian ini adalah sebaik-baik utusan. Mereka mengajak kepada akhlak yang luhur dan melarang yang cela. Demi Allah, tiada yang kita dengar dari mereka selain kebaikan, maka sambutlah seruan hidayah ini, niscaya kalian akan bahagia dunia dan akhirat.”

Ahnaf menuturkan ceritanya, “Suatu kali pada pemerintahan Umar bin Khathab, aku sedang melakukan thawaf di Baitul ‘Atiq dan berjumpa dengan seseorang yang sudah aku kenal. Dia memegang tanganku seraya berkata, “Maukah aku berikan gabar gembira kepada Anda?” Aku berkata, “Ya, tentu saja.” Dia berkata, “Ingatkah Anda sewaktu aku diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyeru kaum Anda kepada Islam? Saya membujuk mereka dan menawarkan Islam, kemudian Anda mengatakan sesuatu kepada mereka?” aku menjawab, “Ya, aku ingat.” Dia melanjutkan, “Setibanya saya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan tentang apa yang Anda katakan, beliau berdo’a, “Ya Allah, berikan ampunanmu kepada Ahnaf.”
Maka Ahnaf berkata, “Tidak ada satupun dari amalanku yang aku harap bisa lebih bermanfaat di hari kiamat kecuali do’a Nabi saw itu.”

Sesudah wafatnya Rasulullah saw, muncul Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang menyesatkan orang lain dengan kedurhakaannya. Sehingga banyak orang yang murtad karenanya. Bersama pamannya Mutasyamas, Ahnaf datang untuk mencari kejelasan tentang hal itu. Ketika itu Ahnaf sedang menginjak usia remaja.
Saat perjalanan pulang sang paman bertanya kepada Ahnaf, “Bagaimana pendapat Anda tentang orang tadi?” Ahnaf berkata, “Kulihat dia adalah pembohong besar kepada Allah dan manusia.” Paman berkata sambil bergurau, “Engkau tidak takut bila aku laporkan kepadanya?”
Ahnaf berkata, “Kalau begitu aku nanti akan bersumpah kepada paman di hadapannya, maka apakah Anda berani bersumpah bahwa Anda tidak akan mendustakannya sebagaimana diriku?” Mereka berdua tertawa dan tetap dalam keislamannya.

Mungkin Anda heran dan takjub akan ketegasan Ahnaf dalam mensikapi perkara-perkara besar, kendati dia masih berusia muda.
Namun bisa jadi keheranan Anda akan watak kerasnya akan luntur manakala Anda mengetahui manakala pemuda Bani Tamim ini ternyata adalah seorang yang tajam analisanya, cerdas otaknya, tepat pandangannya dan suci jiwanya.

Ahnaf bin Qais juga mendapatkan kesempatan emas untuk belajar kepada para sahabat, terutama adalah kepada Al-Faruq Umar bin Khathab.
Beliau pernah ditanya darimana memperoleh wibawa dan hikmah. Beliau menjawab, “Dari kalimat-kalimat yang aku dengar dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang berkata:
Barangsiapa yang banyak bergurau akan hilang wibawanya
Barangsiapa berlebih-lebih dalam suatu hal, dia akan dikenal dengan kebiasaannya.
Barangsiapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya.
Barangsiapa banyak salahnya, berkuranglah rasa malunya.
Barangsiapa berkurang rasa malunya berkurang pula sifat wara’nya.
Dan barangsiapa sedikit sifat wara’nya maka matilah hatinya.

Ahnaf memiliki kedudukan terhormat di mata kaumnya. Meski beliau tidak memiliki jabatan yang tinggi, bukan pula ayah ibunya yang ditokohkan oleh kaumnya. Berkali-kali orang menanyakan kepadanya tentang rahasianya, di antara mereka bertanya, “Bagaimana kaum Anda menganggapmu sebagai pemimpin wahai Abu Bahr?” beliau menjawab, “Barangsiapa memiliki empat hal, maka dia akan bisa memimpin kaumnya dan tak akan terhalang mendapatkan kedudukan itu.” Orang itu betanya, “Apakah empat hal itu?” beliau menjawab, “Agama sebagai perisainya, kemuliaan yang menjaganya, akal yang menuntunnya dan rasa malu yang mengendalikannya.”

Dikisahkan bahwa Ahnaf dalam perjalanan pulang berjalan kaki seorang diri di pinggiran kota Bashrah. Tiba-tiba seseorang menghadangnya dan mencacinya yang tidak enak didengar ditelinga. Tetapi Ahnaf terus saja berjalan dalam keadaan diam.

Ketika hampir mencapai wilayah kaumnya, dia menolah kepada orang tadi dan berkata, “Wahai putra saudaraku, bila di hatimu masih tersimpan ganjalan-ganjalan terhadapku, silakan dilontarkan di sini semua, sebab bila ada di antara kaumku yang mendengar makianmu, niscaya mereka akan menghajarmu.”

Ahnaf juga termasuk orang yang tekun beribadah, puasa dan zuhud dengan apa-apa yang dimiliki orang lain. Bila malam mulai gelap, beliau menghidupkan lentera dan menaruhnya di sisinya. Setelah itu mulailah dia shalat di mihrabnya, berdiri gemetaran seperti orang sakit sambil menangis karena takutnya akan adzab dan murka Allah.

Setiap kali beliau teringat dosa-dosa atau cacat dan celanya, dia letakkan jarinya di atas api sambil berkata, “Hai Ahnaf, rasakanlah ini, apa yang membuat Anda berbuat seperti itu pada hari itu dan saat itu! Celakalah engkau, Ahnaf! Bila engkau tak tahan panasnya api lentera ini dan tidak bisa bersabar, bagaimana mungkin engkau bisa tahan dengan panasnya api neraka dan bisa bersabar dengan pedihnya?! Ya Allah, bila engkau memberiku maghfirah, memang Engkaulah yang berhak untuk itu, bila Engkau siksa aku, memang itu layak bagiku dan Engkau yang berkuasa akan hal itu.”

Semoga Allah meridhai Ahnaf, karena dia adalah tokoh teladan di setiap zaman dan contoh yang istimewa bagi manusia.

(Sumber: Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan)

Kamis, 13 November 2014

Benar Dulu Baru Manfaat

Yang netral dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun keburukan. Nilainya tergantung pada penggunaan. Ini serupa dengan perkara mubah dalam agama. Yang haq dapat dipergunakan untuk kebaikan, pun keburukan. Kita menjumpai orang yang menggunakan kalimat haq untuk tujuan bathil. Apa ia katakan adalah kebenaran, tetapi dipergunakan dalam rangka mendukung kebathilan. Yang demikian ini serupa dengan ibadah fardhu; orang dapat mengerjakan tapi bukan dalam rangka taat. Selain itu, orang dapat melakukan untuk niat yang salah. Maka dalam hal ini, dua hal yang diperlukan, yakni benar dalam melaksanakan dan lurus dalam niat.

Adapun yang bathil, digunakan untuk kebaikan pun tetap bernilai bathil. Itu sebabnya, sebelum mengamalkan, kita perlu tahu haq atau bathil. Meskipun kita pergunakan untuk kebaikan, apa yang pada asalnya bathil, tetaplah tidak menghasilkan kebaikan. Ini serupa dengan orang yang berinfaq-shadaqah dari harta yang haram. Ia mencuri, ia korupsi, dan ia mempergunakan sebagian hartanya untuk beramal. Meski dipergunakan untuk melakukan amal shalih, tetapi ia tetap terhitung salah.

Maka, penting sekali mengetahui haq ataukah bathil yang kita pelajari, termasuk untuk pengembangan diri. Bukan bergantung pada persepsi. Haq maupun bathil ukurannya adalah ketetapan dalam agama sebagaimana dapat kita temukan dalam nash yang shahih, yakni Al-Quranul Kariim dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Nash sesuai dengan pemahaman yang benar itulah dasarnya. Bukan persepsi. Bukankah orang yang paling merugi justru karena begitu meyakini persepsinya tentang kebenaran? Bukan menakar berdasarkan petunjuk yang haq.

Ingatlah sejenak firman Allah Ta'ala:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" (QS. Al-Kahfi, 18: 103).


Selanjutnya, firman Allah:

الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

"Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahfi, 18: 104).


Apa pelajaran yang dapat kita ambil dari Al-Qur'an surat Al-Kahfi ayat 104 ini? Jangan bergantung pada persepsi. Pastikan dulu bahwa itu haq sebelum mengambil, memegangi dan mengamalkan. Jangan pula memudah-mudahkan diri dalam mengambil apa yang disangkakan sebagai ilmu hanya berbekal qiyas, "Seperti pisau, tergantung kita pergunakan untuk apa. Jika kita pakai untuk memasak, ia menjadi kebaikan. Tapi jika kita gunakan untuk menyiksa binatang, ya itu keburukan."

Bagaimana kita akan menganalogikan keyakinan dengan pisau, padahal keduanya sangat jauh berbeda. Pada keyakinan, di dalamnya sudah terdapat nilai. Sementara pisau merupakan benda yang bersifat netral. Menyamakan keduanya bersebab gegabah melakukan qiyas (analogi) akan menggelincirkan kepada syubhat, yakni meyakini apa yang bathil sebagai kebenaran dan kebaikan.

Sesungguhnya salah satu sumber syubhat dalam mengikuti keyakinan, aqidah lain maupun pseudoscience adalah karena menganggap itu semua sebagai ilmu yang teruji secara "ilmiah". Padahal kita perlu bedakan antara bukti (evidence) dan pembuktian (proofing). Apa yang ditunjukkan dalam pembuktian tidak berarti bukti itu ilmiah.

Dari sisi agama, keyakinan dasar yang harus kita pegang sangat sederhana: sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur'an. Maka takarlah dengannya. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Maka jika datang trik, teknik atau keyakinan baru, meskipun berkait dengan pengembangan diri, periksalah apakah ia bersesuaian dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah atau tidak. Inilah yang pokok. Bukan mengagumi dan meyakini dulu apa yang dianggap sebagai pendekatan ilmu pengetahuan modern, lalu mencari pembenaran Al-Qur'an dan hadis.

Begitu pun menyamakan pendekatan dalam NAM dengan ilmu hukum merupakan sikap gegabah. Sebab yang harus ditelisik dulu adalah benar salahnya. Islam mengajarkan kepada kita untuk menakar dulu benar atau salah, baru mengambil manfaat. Bukan menimbang manfaat dulu baru memperhatikan benar atau salahnya sesuatu. Bukankah miras (khamr) pun Allah Ta'ala nyatakan ada manfaatnya? Tapi Allah Ta'ala tegas mengharamkan. Begitu pula babi, sangat banyak manfaatnya. Bahkan jika dilihat dari manfaat, hampir seluruh bagian babi banyak manfaatnya. Tapi ia tetap haram secara mutlak.

Berkait salah satu cabang NAM, ada yang berkata, "Jangan asal menuduh. Ini nggak pakai jin, bagaimana bisa salah?"

Tidak memakai jin bukan otomatis benar. Pembicaraan tentang benar dan salah tidak bergantung pada penggunaan jin. Bukankah setan itu sesat meskipun tidak mengikuti jin. Justru jin yang akan sesat jika ikut setan. Maka, tidak pakai jin tidak serta-merta jadi benar.

(M Fauzhil Adhim)

Jumat, 31 Oktober 2014

Pengakuan: PKS Telah Mencuci Otak Saya!

 Banyak orang yang heran:
“PKS ini ngakunya partai antikorupsi. Tapi presidennya korupsi, mereka malah membela mati-matian. Otak mereka sudah dicuci kali, ya? Saya curiga, jangan-jangan di PKS itu ada proses pencucian otak!”
Hm…
Saya tertegun. Langsung ingat masa lalu. Ya, saya akui… Sebagai orang yang pernah jadi kader aktif di PKS, otak saya memang telah berhasil dicuci oleh PKS. Ya, PKS memang partai pencuci otak!
Kalau tak percaya, berikut saya ceritakan sejelas-jelasnya.

Ketika masih tinggal di Binjai, Sumatera Utara, saya hidup di lingkungan yang orang-orangnya kebanyakan cuma Islam KTP. Jarang yang shalat. Kalau ada yang rajin shalat, langsung dicap “sok suci.” Saya pun ketika itu bisa dikategorikan Islam KTP. Bahkan masih percaya pada dukun. Masih percaya ramalan bintang. Bahkan sabuk pinggang saya berukir zodiac sagitarius :-D

Tahun 1991, saya pindah ke Semarang karena diterima sebagai mahasiswa Universitas Diponegoro. Di sinilah untuk pertama kalinya saya menemukan banyak orang yang rajin shalat. Ketika jam istirahat, banyak teman yang mengajak saya shalat berjamaah. Terus terang, hal seperti ini belum pernah saya alami di Binjai dulu.

Alhamdulillah, pengetahuan dan wawasan keislaman saya jadi lebih baik setelah tinggal di Semarang. Tapi secara umum, saya masih liberal. Saya masih beranggapan bahwa pakai jilbab bagi muslimah itu tidak wajib. Saya masih beranggapan bahwa menerapkan ajaran islam itu bisa mempersulit hidup, bisa menghalangi rezeki.

Tapi berita baiknya, saya bisa berteman baik dengan teman-teman salafy dan ikhwanul muslimin. Walau beda aliran, anehnya kami sangat akrab. Saya iri pada mereka, ingin hidup yang penuh nuansa religius seperti mereka. Tapi saya merasa belum sanggup. Bahkan pada tahap tertentu, saya merasa beda prinsip dengan mereka.

Sampai lulus kuliah (tahun 1998), boleh dikatakan hidup saya masih bertahan seperti itu.
Perubahan yang mencolok mulai terjadi ketika saya sudah tinggal di Jakarta. Saat itu, saya masih lajang, dan sering bertemu dengan salah seorang sahabat masa kuliah, yakni Subhan Afifi. Sampai saat ini saya belum tahu aliran dia apa. Yang saya tahu, sewaktu kuliah Subhan ini termasuk anggota “islam jamaah” yang rajin ikut pengajian.

Dari Subhan-lah saya banyak mendapat pencerahan tentang Islam. Alhamdulillah. Terima kasih banyak untuk sahabatmu Subhan Afifi. Semoga kita nanti dipertemukan lagi di Surga. Aamiin :-)

Peristiwa BERSEJARAH (yang menjadi awal dari proses CUCI OTAK tersebut) pun terjadi sekitar tahun 2002. Saat itu, banyak kejadian dan ujian yang membuat jiwa saya labil. Tiba-tiba saya rindu agama, ingin menjadi orang yang lebih agamis, lebih religius, tapi belum tahu caranya.

Saat itulah, ada dua orang tetangga di Slipi yang memperkenalkan saya dengan pengajian PKS. Maka saya pun ikut. Itulah pertama kalinya saya ikut kegiatan tarbiyah, khususnya di PKS.

Di tarbiyah inilah, untuk pertama kalinya saya mendengar ceramah si murobbi, yang pernah saya tulis di sini:
“Salah satu prinsip tauhid adalah kita tidak boleh taqlid buta kepada siapapun, kecuali kepada Rasulullah. Walau dia ulama besar sekalipun, wali sekalipun, tetap tidak boleh. Sebab ulama dan wali sekalipun adalah manusia biasa. Mereka bukan orang suci dan pasti tidak terbebas dari dosa dan kesalahan. Sedangkan Rasulullah sudah dijamin oleh Allah sebagai manusia yang bebas dari dosa dan kesalahan. Ketika Rasulullah berbuat salah, langsung pada saat itu juga Allah menegurnya.”

Inilah prinsip yang akhirnya menyadarkan saya, dan Insya Allah akan terus saya jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan ketika saya sudah bergabung sebagai kader PKS pun, prinsip ini tetap saya pegang. Ketika para qiyadah PKS melakukan dan mengatakan hal-hal yang benar sesuai ajaran Islam, maka saya ikuti. Jika tidak sesuai, ya ngapain diikuti? Mereka cuma qiyadah. Mereka bukan nabi.

Hal ini saya buktikan ketika Pemilihan Presiden beberapa tahun lalu, saat PKS mendukung SBY. Menurut saya ketika itu, yang patut didukung adalah JK. Maka saya pun mendukung JK dan tak mau ketika diajak kampanye SBY.
Imam Hasan Al Banna (yang menjadi imam panutan teman2 PKS dan ikhwanul muslimin pada umumnya), pun mengatakan hal yang sama seperti kata murobbi saya di atas. Ucapan ini membuat saya berpikir:
“Berarti, bahkan Imam Hasan Al Banna sendiri pun, kita tak boleh mengikuti semua ucapannya 100%, kan? Sebab dia hanya ulama, dia bukan nabi.”
Pemikiran ini, alhamdulillah, bisa membuat pikiran saya lebih jernih dalam melihat kehidupan sehari-hari.
Dari pengajian PKS - antara lain - saya mulai paham, bahwa ternyata banyak dukun berkedok agama, banyak orang yang lebih patuh terhadap pemimpin partai atau pemimpin ormasnya ketimbang terhadap Rasulullah, banyak orang yang lebih percaya kepada aturan dan sistem buatan manusia ketimbang buatan Allah.

Dari PKS-lah, alhamdulillah, saya akhirnya banyak mendapat pencerahan tentang Islam yang sebenarnya.
PKS beda dari partai-partai lain. Di partai lain, mereka hanya sibuk mengurus politik. Di PKS, ada kegiatan baksos, ada pembinaan kader, ada pengajian mingguan yang membuat ruhani kita selalu di-charge, agar iman dan aqidah tetap terjaga.

Inilah sebabnya, kenapa kader PKS itu umumnya militan, taat beribadah, dan religius.
NB: Jika Anda berpendapat bahwa di PKS pun ada koruptor, ada orang bejat, dst… ya ini bisa panjang ceritanya jika didiskusikan.

Jawaban singkat:
Kalaupun ada orang yang seperti itu di PKS, berarti ini membuktikan bahwa PKS bukan lembaga malaikat.  Yang jelas, di PKS itu ada sistem yang baik: Barang siapa yang ketahuan korupsi misalnya, langsung dipecat. Bahkan LHI yang belum terbukti pun, langsung mundur dari jabatan Presiden PKS.
Jadi terlepas dari ada tidaknya koruptor atau orang bejat lainnya di PKS, yang jelas PKS adalah partai yang paling bersih, dan sistemnya paling baik di Indonesia.

* * *
Memang saya akui, PKS tidak identik dengan Islam. Jadi, saya tidak sedang berkata bahwa yang di luar PKS bukan Islam. Hehehe… naif sekali kalau ada yang berpendapat seperti itu!
Islam itu bisa ada di mana-mana. Dan PKS hanyalah salah satu lembaga yang berusaha mengislamkan dirinya.
Saya termasuk yang percaya bahwa haroqah atau mazhab atau aliran apapun di dalam Islam, semua itu buatan manusia, semua itu hasil pemikiran manusia. Pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Termasuk PKS pun demikian.

Karena itu, saya tak mau hanya belajar agama di PKS. Saya juga rajin mendengarkan ceramah-ceramah di radio Rodja FM yang dikelola oleh teman-teman Salafy. Saya juga mengakui, bahwa teman-teman HTI itu hebat, karena mereka sangat rajin berkampanya untuk tegaknya khilafah. Seorang kakak kandung saya ikut jamaah MMI, dan saya pernah mendengarkan ceramah ustadznya. Secara umum saya simpati dan kagum pada mereka.

Saya percaya bahwa harokah atau aliran apapun di dalam Islam itu hanya buatan manusia, pasti ada kekurangannya. Yang sempurna itu hanya Islam. Karena itu, yang saya jadikan sebagai pedoman hidup adalah Islam. PKS hanya alat menuju tujuan Islam yang indah.

Saya ingin meletakkan PKS di tangan, bukan di hati. Mengenai belajar Islam, saya ingin belajar di mana saja, bukan hanya di PKS. Karena kebenaran bisa ditemukan di manapun. Bahkan di tempat maksiat pun, seringkali kita temukan kebenaran.

“Jika Islam tidak hanya ada di PKS, kenapa kamu memilih PKS, bukan yang lain?” Mungkin ada di antara Anda yang berkata demikian.

Jawabnya:
Karena SECARA PRIBADI saya menilai bahwa PKS yang paling moderat dibanding yang lain. Itu saja. Dan saya menghormati teman2 dari harokah lain. Sebab walau berbeda, saya yakin tujuan kita semua sama: Kejayaan Islam. Jadi buat apa saling menyalahkan dan mempermasalahkan perbedaan?

* * *
Kembali soal kasus LHI. Kenapa saya membela beliau?
Hal ini pun sudah saya jelaskan di sini. Berikut kutipannya:
Dan hari ini, saya bersama para kader PKS lainnya membela LHI. Padahal banyak orang yang berkata bahwa LHI koruptor. Kenapa? Apakah saya sudah berubah? Apakah saya sudah tidak percaya pada prinsip yang tertulis di atas? Insya Allah saya masih percaya. Prinsip itu masih saya pegang hingga hari ini.
Saya membela LHI karena saya percaya padanya. Sampai hari ini, belum ada satu bukti pun yang menunjukkan bahwa beliau bersalah. Bahkan seperti yang kita saksikan sendiri, banyak sekali kejanggalan pada kasus ini.
* * *
Jadi teman-teman sekalian,
Itulah pengakuan saya mengenai PKS yang telah berhasil mencuci otak saya. Itulah bukti bahwa PKS merupakan partai pencuci otak!!!

Otak saya yang awalnya masih banyak dipenuhi pemikiran-pemikiran liberal, masih percaya dukun, masih lebih percaya hukum manusia ketimbang hukum buatan Allah, dan sebagainya, alhamdulillah sekarang saya merasa hidup lebih bahagia. Walau hidup saya masih penuh dengan maksiat (dan saya selalu berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik), tapi alhamdulillah saya merasa makin memahami Islam yang sebenarnya, setelah saya bergabung dengan PKS.

Jadi, bagi Anda yang tidak mau jadi korban berikutnya, tidak mau jadi korban cuci otak PKS, waspadalah! Jangan dekati PKS. Ini partai yang sangat berbahaya!

NB: Ini salah satu bukti lainnya tentang cuci otak ala PKS: Klik di sini :-)
Wassalam!
Jonru
Founder dan CEO Dapur Buku
Cara Baru Menerbitkan Buku

http://politik.kompasiana.com/2013/05/17/pengakuan-pks-telah-mencuci-otak-saya-560900.html

Minggu, 19 Oktober 2014

Kala PKS Mempratekkan Marxisme



KETIKA orang orang Kiri masih sibuk menalar Marx (dan Marxisme), PKS [Partai Keadilan Sejahtera] telah lama mempratekkannya. Ini merupakan ironi, kalau tak bisa disebut keterbelakangan kalangan Kiri di Indonesia.

Dalam menalar Marx, dengan buih buih ala katolikisme Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, ajaran Marx berubah menjadi doa kudus yang dilantumkan dengan merdu di kapel yang terletak di tengah tengah padang rumput. Tentu saja lengkap dengan seorang gembala duduk di bawah pohon ek, meniup seruling yang terbuat dari bunga tebu, untuk menambah efek syahdu. Sementara, seorang gadis yang payudaranya mulai mengkal merenda topi di depan jendela. Lengkap sudah. Marxisme menjadi litani yang dinyanyikan saat diri kering akan harapan.

Pun, Marxisme berubah seperti pelajaran seorang romo pastur di sekolah minggu. Penuh dengan janji janji surgawi. Membuat anak anak membayangkan seperti apa singasana Tuhan Yesus Kritus yang penuh welas asih itu. Wajah bocah bocah itu melongo, sebagian ileran karena terpukau oleh bualan sang pastur. Tak mengherankan kalau Marxisme menjadi dangkal, persis pelajaran semester satu di sekolah pasturan [Sama yang terjadi di program Religi dan Budaya di sebuah pergeruan tinggi Jesuit di tengah kota Yogya. Marxisme diajarkan oleh romo romo yang patah hati. Mengajar sembari berkata: “Sakitnya tuh di sini.” Sambil menunjuk lubang pantat].

Yang disampaikan tak akan jauh apakah Marx itu dipengaruhi Hegel atau Mbah Maridjan; ia condong ke Aristoteles atau Julia Perez; ia seorang determinis atau seorang pengagum keris; basis menentukan suprastruktur atau bis mempengaruhi kendoktur. Itu itu juga. Dimamah biak dari subuh ke subuh. Agar lebih khidmat dibicarakan sambil menenggak bir di cafe cafe.

Tapi tak apalah. Pelajaran Marxisme semacam itu memang diperlukan untuk memperoleh titel S2 atau yang sederajat. Pun, diperlukan dalam ceramah ceramah basa basi. Maka agar bisa memukau, sebanyak banyaknya ditampilkan kutipan dan catatan kaki [kalau perlu dari bahasa Latin dan Jerman]. Semakin orang tak paham, maka akan dianggap sebagai jagoan Marxist. Oh, ya. Jangan lupa dilengkapi bagan agar lebih ilmiah dan wah.

Marxisme memang ada dua tipe; sekolahan/ceramahan atau jalanan. Silakan pilih sendiri.

Sementara itu, PKS telah jauh menerapkan ajaran Marx. PKS tak sibuk dengan yang ada di kepala (menalar). Mereka bergelut dengan situasi politik yang ada. Berada di tengah tengah pusaran pertarungan demokrasi borjuis nan liberal. Mulai dari pemilihan ketua RT sampai presiden, PKS terlibat. Kalah dan menang sudah dialami. Dijepit dan digencet sudah biasa. Dari situlah mereka semakin lihai mempratekkan Marxisme. Mulai dari membangun partai, berpropaganda, aksi, kaderisasi, sampai bertarung di arena demokrasi borjuis, tak pernah dilewatkan. Semua yang ditulis Marx sudah diterapkan.

Karena ketimpangan itulah menyebabkan perbedaan yang senjang dalam menjawab problem politik (dan yang lainnya). Ketika orang orang Kiri gaduh tentang UU Pilkada, misalnya, karena hobinya masih sebatas menalar Marx, semua didasarkan romantisme yang ada di kepala: bahwa rakyat bla bla; bahwa rakyat telah dibli bli. Dst. Semuanya didasari oleh perasaan romantik sebagai pejuang rakyat, bukan berlandaskan kebutuhan politik organisasi.

Tak perlu terkejut kalau rakyat yang disebut oleh Kiri kiri tersebut, tak lebih sebatas rakyat yang ada di kepala [maklum baru sebatas menalar rakyat]. Karena apa? Mereka tak pernah berada di tengah tengah rakyat [akibat sibuk menalar tadi]. Tak mengherankan kalau dalil dan dalih yang digunakan untuk berargumentasi hanya sebatas andaian dari hasil asyik masyuk bernalar. Dengan slogan cartesian ala pasar Turi: Aku menalar maka aku Marxist.

Tentu berbeda dengan PKS. Ketika mereka menyebut rakyat sudah jelas yang dimaksud: orang yang ada di pasar, masjid, sekolahan, pabrik, perkantoran, bantaran sungai, sawah, pangkalan ojek, mimbar mimbar pengajian sampai warteg. Selama ini mereka berada di tengah rakyat. Tahu yang dipikirkan dan diinginkan rakyat. Punya kader kader yang bernapas bersama rakyat. Dan, satu yang pasti: mereka telah ratusan kali terlibat pertarungan dalam Pilkada.

Dari kasus Pilkada tadi, lewat pratek pengorganisiran dan politik yang dijalankan dengan rapi, PKS punya landasan kuat untuk mengambil keputusan apakah Pilkada dilakukan langsung atau tidak. Semua disandarkan pada kerja politik sehari hari. Mereka mempunyai hitung hitungan yang ditimba dari deretan pengalaman. Bukan berangkat dari andaian, tapi berdasarkan kebutuhan politik yang nyata. Dan tentu saja, kepentingan menjadikan partai mereka berkuasa di tingkat lokal.

Sementara itu, Kiri kiri ala Driyarkara masih sibuk (sekali lagi) menalar Marx. Kemana mereka selama 10 tahun ini ketika Pilkada langsung dijalankan? Apakah mereka ikut bertarung untuk memperebutkan jabatan gubernur atau bupati? Apa yang dilakukan selain sekadar menjadi tim sukses berbaju sukarelawan dengan bayaran recehan? [seperti yang dilakukan si Botak dari Blora dan Kalibata, si Cebol dari Solo atau si Crewet dari Silir; sekarang beralih profesi sebagai panitia festival, konser, yang semuanya ada kata rakyat; sembari mimpi bahwa itu semua vergadering ala Serikat Islam cabang Semarang zaman Semaun].

Sebetulnya sederhana untuk menguji mana yang benar-benar didukung rakyat. Pilih saja satu orang Kiri yang paling jago dalam menalar Marx untuk bertarung dengan kader PKS dalam pemilihan ketua RT di gang Samali, misalnya. Tanpa dijelaskan, hasilnya sudah diketahui mana yang akan jadi pemenang [memang dalam kasus tertentu ada kader Kiri di Cilebut bisa jadi ketua RT. Ia bisa menang karena tidak ada calon dari PKS dan dalam kampanyenya berjanji akan menyediakan hasil unduhan dari google translate pada bapak bapak secara gratis].

Itu hanya satu contoh kesenjangan dalam menghadapi problem politik antara PKS dengan Kiri penalar Marx. Silakan cari contoh yang lain, maka kita akan bertambah malu karena mengetahui betapa terbelakanganya kaum Kiri di Indonesia.

Pada akhirnya yang disampaikan Marx sederhana: buatlah wadah politik (partai) dan bertarunglah. Marx tak pernah pusing apakah buruh paham Aristoteles atau tidak. Tak penting buruh mengerti Hegel atau tidak. Marx hanya bilang:”Kaum buruh seluruh dunia. Bersatulah!”

Lereng Merapi. 18.10.2014 
Ragil Nugroho

Rabu, 15 Oktober 2014

Tentang Atheis

Di suatu pagi seorang gila berlari ke pasar lalu berteriak:”Aku mencari Tuhan ! Aku mencari Tuhan”. Orang lalu berkerumun menontonnya. “Memangnya, Tuhan pergi ke mana, Dia lari atau pindah rumah?” Tanya seorang penonton di pasar itu sinis. Orang gila itu menatap tajam semua orang yang monontonya di pasar itu lalu bertanya “Coba [terka] kemana Tuhan pergi? Tak ada jawaban. Orang gila itu menjawab sendiri “Aku mau mengatakan kepada kalian. Kita telah membunuhnya. Ya kita semua telah membunuhnya!”

Kisah diatas hanyalah metaforika Nietszche (1844-1900), filosof proklamator kematian Tuhan di Barat. Metafora ini tentu menjengkelkan. Jangankan membunuh Tuhan, membunuh makhluk saja dianggap jahat. Tapi Nietszche juga jengkel pada sesuatu yang disebut Tuhan. Tuhan baginya hanya ada dalam pikiran. Tuhan tidak wujud diluar sana. Ia memang ateis tulen. Lho, kalau begitu Tuhan yang mana yang ia bunuh? Sebentar!!

Ateisme a la Nietszche bukan tanpa preseden. Orang Barat nampaknya sudah lama gerah dengan agama. “Siapapun yang beragama pasti tidak bebas”, kata Nietszche. Agama dianggap mengebiri kebebasan. Dulu menjadi sekuler pun susah, apalagi ateis. Sedikit-sedikit dituduh ateis. Ateis bahkan hampir seperti plesetan dan penghinaan. “Kamu ateis!” sama maksudnya dengan “Kamu anarkis! Kamu komunis!” Ateis malah bisa berarti sifat orang tidak saleh. Munafik, pendosa yang merasa suci, berani dan bangga,  bagi John Wingfield adalah ateis. Bagi dramawan Inggeris, Thomas Nashe (1567-1601), ambisius, tamak, rakus, sombong dan pezina termasuk ateis. Lebih menggelikan lagi standar Penyair William Vaughan (1577-1641), tandanya ateis yang nyata adalah menaikkan sewa rumah. Pendek kata semua yang buruk adalah ateis.

Ateis yang agak akademis adalah yang kritis pada teologi Kristen dan institusi gereja. Giordano Bruno (1548-1600), tokoh rasionalis Italia, Pierre Carvin, Pendeta Robinson, pengarang Honest to God, Paul Tillich, pengarang Sytematic Theology, Schleirmacher (1768-1834) tokoh hermenutika adalah pengkritik teologi Kristen dan dianggap ateis.

Ateis yang lebih canggih adalah yang berani menggugat Tuhan. Inkar saja tidak cukup jadi hero. Inkar harus dibumbui caci-maki, jadilah blasphemy. ”Tuhan Yahudi dan Kristen adalah tiran” kata Hegel (1770-1831) dan Kant (1724-1804), karena minta ketaatan penuh. Schoopenhuer (1788-1860) mendahului Nietszche menegaskan tuhan tidak ada. Sesudah Nietszche membunuh tuhan, Rudolf Bultmann, (1884-1976) penulis New Testament and Mythology, memastikan “Tuhan dalam Bible telah mati, kalau tidak sekarat”. Tuhan bagi mereka adalah tirani jiwa “the stodgy old tyrant of the soul“.  Bukan Tuhan agama-agama, karena Ia dianggap sudah tidak ada. Inilah Tuhan yang dibunuh Nietszche itu.

ِMengapa orang Barat bangga dan bernafsu menjadi ateis? Michael Buckley menjawab dengan buku ilmiyah yang ia beri judul At the Origins of Modern Atheism - 1987 – (Asal Usul Kekafiran Modern). Meskipun kafir tapi modern, meskipun modern tapi kafir, mungkin begitu plesetannya. Buckley membahasnya secara analitis, serius dan komprehensif. James E Force memuji buku ini sebagai “big, bold [and] highly readable book”.

Ateisme muncul di awal era modern, kata Michael karena teologi Kristen tunduk pada filsafat (Christian theology becomes subservient to philosophical reason). Biang keladinya adalah pemikir dan filosof yang ia juluki  new rationalistic defender of faith atau rationalistic philosophers,  seperti Lessius, Mersenne, Descartes (1596-16500, Malebranche, Newton (1642-1727) dan Clarke. Mereka bicara tentang Tuhan tanpa bicara tentang Yesus.

Bukan hanya itu, kata James. Ateisme, wujud juga gara-gara merebaknya gerakan kritik terhadap Bible. Dari sejarah penulisannya, konsepnya tentang Tuhan dan akhirnya eksistensi Tuhan itu sendiri. Pengkritik Bible biasanya berlindung dibawah paham Deisme. Deist percaya pada Tuhan dengan akal, bukan lewat Bible. Tokoh-tookoh Deis Inggeris adalah Spinoza, Bruno, Thomas Hobbes, Richard Simon dan lain-lain. Semuanya adalah tokoh-tokoh rasionalis. David Berman dalam bukunya A History of Atheism in Britain: From Hobbes to Russel, setuju dengan James. Deisme adalah biang keladi ateisme. Ateisme modern lahir karena akarnya diremehkan, dicurigai dan terkadang dianggap sepi oleh para teolog yang merasa terancam.
Ateisme dipicu oleh kebencian terhadap dan kebebasan (liberalisme) dari agama.  “Now hatred is by far the greatest pleasure“, kata Don Juan. Karena itu banyak cara menjadi kafir. Ada yang inkar Tuhan saja (atheis), ada yang inkar agama saja (infidel) dan ada yang menolak pengetahuan tentang Tuhan dan eksistensiNya sekaligus (agnostic). Ada yang meragukan wahyu Tuhan (skeptic), dan ada yang menolak Bible sebagai wahyu Tuhan (deist). Tapi ada juga yang menolak wahyu secara intelektual, yaitu disbeliever. Untuk yang minat inkar Tuhan dengan akal dan hatinya, ia bisa memilih cara unbeliever. (lihat The New International Webster Comprehensive Dictionary.hal. 1177).  Banyak jalan menjadi kafir.

Dalam Islam kakufuran itu satu paket. Kufur pada rukun yang manapun tepat kafir. Sebab satu rukun berkaitan dengan rukun yang lain. Dalam al-Qur’an inkar Allah (al-Nahl 106-107), inkar pada ayat-ayat Allah (Israil  98; Maryam 73), atau menolak wahyu yang diturunkan (Muhammad 9; al-Hajj 72), adalah kafir. Malah beriman pada Allah tapi kufur pada Nabi (al-Nisa’ 150-151), sama saja, tetap kafir.

Lucunya Muslim juga terigiur shopping menu ateisme. Fovoritnya adalah menu skeptic, disbeliever dan agnostic. Iman pada al-Qur’an di Lauh Mahfuz, tapi skeptik pada al-Qur’an yang diturunkan. Mensucikan maknanya tapi melecehkan huruf dan mushafnya. Ngaku beriman tapi ragu apakah bisa memahami Allah, mirip doktrin credo et intelegam. Jika mahasiswanya berani bertanya ”mana epistemologi Tuhan?” dosennya malah dengan arogan menulis tesis ”Menggugat Wahyu Tuhan”. Jika di Barat memprotes gereja melahirkan ateisme, disini malah ada yang memprovokasi, ”agar maju tirulah Protestan!” Maksudnya agar maju hujatlah tradisi agama (sunnah). Supaya bisa menapaki thesis Weber dari Protestan menjadi kapitalis.

Jadi persepesi James benar. Ini adalah fenomena intelektual modern (modern intellectual phenomenon), bukan keagamaan atau sosial. Problemnya ada pada cendekiawan. Intelektualitas diadu dengan religiusitas, filsafat dengan teologi dan agama dengan sains. Mestinya kompromistis, integratif alias tawhidi. Tapi masalahnya, konsep tawhid tidak built in dalam teologi agama itu. Dalam buku Dialog between Theology and Philosophy, kalimat pertama yang ditulis adalah keraguan Tertulian ”Apa ya yang bisa dikongsi antara Athena dan Jerussalem, antara Akademi dan Gereja? Jawabnya tidak ada dan karena itu dialog antara teologi dan filsafat berbahaya.

Memang para teolog tidak siap dialog, kata Karen Armstrong dalam A History of God. Tapi filosof dan saintis terus menggugat dan memberangus agama. Motonya mudah ”Bicaralah ilmu apa saja asal jangan membawa-bawa Tuhan”. Kalau bicara Tuhan dalam sains anda salah kamar. Sorry sir, this is a science not theology! Teori-teori Ludwig Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich Nietszche dan Sigmund Freud pun tidak memberi ruang untuk Tuhan. Arnold E Loen lalu menulis buku Secularization, Science Without God. Dunia ini bagi saintis adalah godless (tanpa tuhan). Sains yang bicara Tuhan ia tidak obyektif lagi. Here we must disagree, tulis Arnold tegas. Baru sekuler saja sudah menyingkirkan Tuhan, apalagi ateis. Tapi karena teolog terpojok, maka stigma “kamu ateis!” bisa berimplikasi “kamu saintis!” Itulah modern atheism.

”Tuhan” di Barat ternyata tidak hanya dihabisi di gereja-gereja, tapi juga di kampus-kampus. Mungkin karena tidak ada ilmu dalam teologi akhirnya tidak ada tuhan dalam ilmu (godless). Jadi ateis  dizaman modern adalah ateis epistemologi. Orang menjadi ateis bukan hanya karena lemah iman, tapi juga salah ilmu. Ilmunya tidak menambah imannya. Epistemologinya tidak teologis dan teologinya tidak epistemologis. Dalam Islam, hati yang tak berzikir adalah mati, dan otak yang tidak bertafakkur akan kufur. Jika beriman pada Tuhan adalah fitrah semua insan, maka ketika Nietszche membunuh Tuhan – dalam hati dan pikirannya – sejatinya ia telah membunuh fitrahnya sendiri. Jadi Nietszche benar-benar telah melakukan bunuh diri spiritual, spiritual suicide. Subhanallah.
Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi
Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)

Kamis, 12 Juni 2014

Ciri orang besar memulai

Pagi yang indah selalu dihadirkan Allah SWT untuk kita yang memiliki keterpautan hati dan bisa merasakan betapa besar Cinta-Nya pada hambanya. Mata yang masih bisa melihat Keindahan itu, udara yang masih bisa kita hirup, aliran darah dan denyut nadi yang masih bisa kita rasakan, menunjukkan jika kita masih diberi eksistensi oleh-Nya. Rasulullah SAW yang melihat umatnya dari syurga Firdaus-Nya, mendoakan kita yang tak kenal letih memperjuangkan risalah dakwah untuk kejayaan Islam di Bumi Allah ini. Semoga kelak kita semua dikumpulkan bersama Baginda Rasul dan para keluarga serta sahabat.

Terkadang kita ini terlalu banyak menggunakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk sesuatu di luar diri kita. Juga terlalu banyak energi dan potensi kita untuk memikirkan selain diri kita, baik itu merupakan kesalahan, keburukan, maupun kelalaian. Namun ternyata sikap kita yang kita anggap kebaikan itu tidak efektif untuk memperbaiki yang kita anggap salah. Banyak orang yang menginginkan orang lain berubah, tapi ternyata yang diinginkannya itu tak kunjung terwujud. Kita sering melihat orang yang menginginkan Indonesia berubah. Tapi, pada saat yang sama, ternyata keluarganya ‘babak belur’, di kampus tak disukai, di lingkungan masyarakat tak bermanfaat. Itu namanya terlampau muluk.

Jangankan mengubah Indonesia, mengubah keluarga sendiri saja tidak mampu. Banyak yang menginginkan situasi negara berubah, tapi kenapa merubah sikap adik saja tidak sanggup. Jawabnya adalah: kita tidak pernah punya waktu yang memadai untuk bersungguh-sungguh mengubah diri sendiri. Tentu saja, jawaban ini tidak mutlak benar. Tapi jawaban ini perlu diingat baik-baik. Siapa pun yang bercita-cita besar, rahasianya adalah perubahan diri sendiri. Ingin mengubah Indonesia, caranya adalah ubah saja diri sendiri. Betapapun kuatnya keinginan kita untuk mengubah orang lain, tapi kalau tidak dimulai dari diri sendiri, semua itu menjadi hampa. Setiap keinginan mengubah hanya akan menjadi bahan tertawaan kalau tidak dimulai dari diri sendiri. Orang di sekitar kita akan menyaksikan kesesuaian ucapan dengan tindakan kita.

Boleh jadi orang yang banyak memikirkan diri sendiri itu dinilai egois. Pandangan itu ada benarnya jika kita memikirkan diri sendiri lalu hasilnya juga hanya untuk diri sendiri. Tapi yang dimaksud di sini adalah memikirkan diri sendiri, justru sebagai upaya sadar dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki yang lebih luas. Perumpamaan yang lebih jelas untuk pandangan ini adalah seperti kita membangun pondasi untuk membuat rumah. Apalah artinya kita memikirkan dinding, memikirkan genteng, memikirkan tiang yang kokoh, akan tetapi pondasinya tidak pernah kita bangun. Jadi yang merupakan titik kelemahan manusia adalah lemahnya kesungguhan untuk mengubah dirinya, yang diawali dengan keberanian melihat kekurangan diri.

Pemimpin mana pun bakal jatuh terhina manakala tidak punya keberanian mengubah dirinya. Orang sukses mana pun bakal rubuh kalau dia tidak punya keberanian untuk mengubah dirinya. Kata kuncinya adalah keberanian. Berani mengejek itu gampang, berani menghujat itu mudah, tapi, tidak sembarang orang yang berani melihat kekurangan diri sendiri. Ini hanya milik orang-orang yang sukses sejati. Orang yang berani membuka kekurangan orang lain, itu biasa. Orang yang berani membincangkan orang lain, itu tidak istimewa. Sebab itu bisa dilakukan oleh orang yang tidak punya apa-apa sekali pun. Tapi, kalau ada orang yang berani melihat kekurangan diri sendiri, bertanya tentang kekurangan itu secara sistematis, lalu dia buat sistem untuk melihat kekurangan dirinya, inilah calon orang besar.

Mengubah diri dengan sadar, itu juga mengubah orang lain. Walaupun dia tidak berucap sepatah kata pun untuk perubahan itu, perbuatannya sudah menjadi ucapan yang sangat berarti bagi orang lain. Percayalah, kegigihan kita memperbaiki diri, akan membuat orang lain melihat dan merasakannya. Memang pengaruh dari kegigihan mengubah diri sendiri tidak akan spontan dirasakan. Tapi percayalah, itu akan membekas dalam benak orang. Makin lama, bekas itu akan membuat orang simpati dan terdorong untuk juga melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Ini akan terus berimbas, dan akhirnya semakin besar seperti bola salju. Perubahan bergulir semakin besar.

Jadi kalau ada orang yang bertanya tentang sulitnya mengubah keluarga, sulitnya mengubah anak, jawabannya dalam diri orang itu sendiri. Jangan dulu menyalahkan orang lain, ketika mereka tidak mau berubah. Kalau kita sebagai ustadz, atau kyai, jangan banyak menyalahkan santrinya. Tanya dulu diri sendiri. Kalau kita sebagai pemimpin, jangan banyak menyalahkan bawahannya, lihat dulu diri sendiri seperti apa. Kalau kita sebagai pemimpin negara, jangan banyak menyalahkan rakyatnya. Lebih baik para penyelenggara negara gigih memperbaiki diri sehingga bisa menjadi teladan. Insya Allah, walaupun tanpa banyak berkata, dia akan membuat perubahan cepat terasa, jika berani memperbaiki diri. Itu lebih baik dibanding banyak berkata, tapi tanpa keberanian menjadi suri teladan. Jangan terlalu banyak bicara. Lebih baik bersungguh-sungguh memperbaiki diri sendiri. Jadikan perkataan makin halus, sikap makin mulia, etos kerja makin sungguh-sungguh, ibadah kian tangguh. Ini akan disaksikan orang.

Membicarakan dalil itu suatu kebaikan. Tapi pembicaraan itu akan menjadi bumerang ketika perilaku kita tidak sesuai dengan dalil yang dibicarakan. Jauh lebih utama orang yang tidak berbicara dalil, tapi berbuat sesuai dalil. Walaupun tidak dikatakan, dirinya sudah menjadi bukti dalil tersebut. Mudah-mudahan, kita bisa menjadi orang yang sadar bahwa kesuksesan diawali dari keberanian melihat kekurangan diri sendiri. Jadi teringat kutipan kata bijak dari sebuah buku seperti ini:

Jadilah kau sedemikian kuat sehingga tidak ada yang dapat mengganggu kedamaian pikiranmu

Lihatlah sisi yang menyenangkan dari setiap hal

Senyumlah pada setiap orang

Gunakanlah waktumu sebanyak mungkin untuk meningkatkan kemampuanmu sehingga kau tak punya waktu lagi untuk mengkritik orang lain

Jadilah kau terlalu besar untuk khawatir dan terlalu mulia untuk meluapkan kemarahan

Satu-satunya tempat dimana kita dapat memperoleh keberhasilan tanpa kerja keras adalah hanya dalam kamus.

Di awal tahun, awal bulan dan awal minggu (Jum’at adalah awal minggu bagi umat Islam), ayo kita semua mulai memperbaiki diri. Suatu karya besar selalu diciptakan oleh orang-orang yang berfikir besar. Namun perubahan besar pasti dimulai dari satu langkah kecil, dan itu dimulai dari diri kita masing-masing.

Wallahualam bishowab

Kematian Hati

Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.
Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.

Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.

Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.
Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.

Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gemetar saat dipuji orang. “Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka”, ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.

Dimana kau letakkan dirimu?

Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut.
Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.

Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma’siat menggodamu dan engkau meni’matinya?

Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin engkau mulai berfikir “Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh” Betapa jamaknya ‘dosa kecil’ itu dalam hatimu.
Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat “TV Thaghut” menyiarkan segala “kesombongan jahiliyah dan maksiat”?

Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan ” Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?”

Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang “Ini tidak islami” berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?
Sekarang kau telah jadi kader hebat.

Tidak lagi malu-malu tampil.

Justeru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa.
Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.
Siapa yang mau menghormati ummat yang “kiayi”nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan “Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku” dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?

Siapa yang akan memandang ummat yang da’inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan “Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua” Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai ‘alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da’wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka.

Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa “westernnya” . Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan “lihatlah, betapa Amerikanya aku”.

Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.
Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.

Kini datang “pemimpin” ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, “toko emas berjalan” dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. “Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku”

Senin, 12 Mei 2014

Beginilah Umar bin Abdul Aziz Ditarbiyah Sejak Kecil


Di masa kecilnya Umar bin Abdul Aziz diutus orang tuanya Abdul Aziz bin Marwan untuk belajar adab di Madinah. Beliau meminta kepada Imam Shalih bin Kaisan untuk melakukan itu.

Adab pertama yang diajarkan gurunya adalah membiasakan shalat berjama'ah di mesjid.

Pada suatu kali ia terlambat untuk menghadiri shalat berjama'ah. Setelah ditanya oleh gurunya ia menjawab: "Tukang sisir rambutku kelamaan menyisirnya".

Gurunya berkata: "Segitunya menyisir rambut, sampai melambatkanmu untuk menghadiri shalat berjama'ah?"

Saat itu juga gurunya menulis surat kepada ayah Umar bin Abdul Aziz yang menjadi gubernur di Mesir, melaporkan hal itu.

Mendapatkan berita itu, ayah Umar bin Abdul Aziz segera mengirim tukang cukur dari Mesir ke Madinah. Sesampainya di Madinah ia terus saja menemui Umar bin Abdul Aziz. Tanpa ba bi bu langsung saja mencukur rambutnya sampai licin.

Di antara pelajaran yang bisa diambil:

1. Sebelum disekolahkan, anak-anak diajari adab terlebih dahulu.

2. Adab paling penting yang pertama sekali ditanamkan kepada anak adalah menghadiri shalat berjama'ah di mesjid.

3. Kepedulian tinggi dan kerjasama yang baik antara orang tua dan guru dalam mendidik anak.


*by Zulfi Akmal

Kamis, 08 Mei 2014

Suara-suara Dari Kedalaman Hati



Lelaki itu limbung. Galau. Wajahnya kacau. Tegak ia mencoba berdiri. Namun beban masalah membuatnya lunglai.

Sesungguhnya dia lelaki yang damai. Di hatinya tidak tersimpan benci. Seluruh cintanya telah diserahkan kepada sebuah jalan yang sangat suci. Jalan dakwah yang sangat ia yakini akan memberikan kebaikan abadi.

Cinta yang ia berikan serasa tidak bertepi. Sangat luas, tidak terperi. Namun hatinya tengah tersakiti. Tidak tahu dimana ia akan berhenti menepi. Sebentar saja, sekedar melepas kegundahan hati.

Bertanya, ada apa. Tanpa jawab, tanpa suara. Bimbang ia kumpulkan tenaga. Subhanallah, ia lihat cahaya. Terang, seterang cintanya.

Bangkit. Lelaki itu bangkit berdiri. Berkata kepada diri sendiri.

Kerjakan saja !

Karena kita sudah mengetahui bahwa yang kita inginkan adalah kridhaan-Nya. Bukan sedang menghamba harta ataupun jabatan dunia. Mengapa masih dibuat risau oleh pandangan dan penilaian manusia?

Laksanakan saja !

Karena kita semua sudah berikrar bahwa hidup dan mati adalah untuk-Nya. Bukan untuk membela kepentingan-kepentingan sesaat dan membela sesiapa. Kerja kita semua di jalan mulia. Hanya untuk Allah saja !

Lakukan saja !

Karena perjalanan ini masih panjang dan memerlukan kesungguhan dan kesetiaan kita. Tujuan tidak akan tercapai jika keengganan menyelimuti jiwa. Lawan kemalasan, buang kepengecutan.

Curahkan saja !

Semua tenaga terbaik sudah selayaknya kita curahkan untuk mengemban amanah dakwah. Yakinlah jalan ini penuh berkah melimpah. Di hadapan telah menunggu surga yang indah.

Nikmati saja !

Hidup ini terlalu singkat untuk disesali dan dikesali. Jalan perjuangan yang sangat panjang menantang, harus terus menerus kita lalui. Jangan gagal menikmati, semua indah pada waktunya jika kita mengerti.


*http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=2765

Pemerintah Zionis Israel Dukung Jokowi Jadi Presiden


Pemerintah zionis Israel sangat berkepentingan terhadap Indonesia terutama saat pergantian puncuk pimpinan.

Media Israel Israelforeignaffairs.com yang dikutip Republika Online (Rabu, 16/4), rezim di negeri Zionis itu mengamati sepak terjang Jokowi.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendukung langkah Jokowi yang mengedepankan pemerintah bersih serta menghargai kebhinekaan. Netanyahu sendiri berharap jika Jokowi menjadi presiden Indonesia dapat membawa perdamaian di Timur Tengah khususnya Israel-Palestina.

Masih dalam laporan Republika, bergabungnya PDIP dengan NasDem itu bukan hal yang istimewa terlebih lagi di partai yang didirikan Surya Paloh itu terdapat Ferry Mursyidan Baldan yang mempunyai hubungan baik dengan zionis Israel.

Ferry sendiri pernah menghadiri acara kemerdekaan Israel di Singapura. Bisa jadi melalui NasDem, hubungan baik Jokowi dan Israel akan terjalin terutama saat mantan Wali Kota Solo itu menjadi Presiden Indonesia. (sumber: Kompasiana)

*Foto: Menlu Inggris dan Jokowi (Dok Republika)

Minggu, 04 Mei 2014

Kedengkian Menyebabkan Memilih Jalan Kesesatan


Sebagian orang yang sesat dan memilih jalan kesesatan bukanlah karena ia tidak tahu mana yang hak dan mana yang batil.

Akan tetapi dia tersesat karena kebencian dan kedengkiannya kepada orang lain atau kelompok lain.

Awalnya sepele, akan tetapi karena kebenciannya itu dibiarkan tumbuh dan berkembang, bahkan dipupuk dengan perangai jahat dan kata-kata berbisa, akhirnya ia tidak merasa lagi bahwa dia sesat, bahkan merasa dirinya benar dan berada pada pihak yang benar.

Awalnya mungkin ada perperangan batin yang dahsyat seperti yang pernah dirasakan oleh Umayyah bin Abi Shalt dan Abu Jahal. Akan tetapi ketika bertemu dengan teman seide atau komunitas seperangai, kedengkian itu mengkristal hingga menutup batinnya untuk melihat kebenaran. Akhirnya sampai pandangannya terbalikpun tidak dia sadari lagi.

Sifat-sifatnya yang dulu mulia akhirnya terkikis menjadi biadab. Semua hanya berubah karena benci dan dengki.

Sejarah mencatat banyak sekali orang bertipe seperti ini. Di antaranya para pembesar kafir Quraisy yang menjadi penentang dakwah Rasulullah, seperti: Walid bin Mughirah, Al 'Ash bin Wail, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abi Mu'aith, 'Utbah bin Rabi'ah, Nadhar bin Harits, juga gembong munafik Ibnu Ubay bin Salul dan seluruh Yahudi Madinah yang tidak mau beriman kepada Rasulullah.

Baik itu kedengkiannya kepada pribadi Rasulullah maupun kebenciannya kepada keluarga atau suku Rasulullah. Seperti, bagaimana dahsyatnya kedengkian Bani Makhzum (suku Abu Jahal) kepada Bani Hasyim (suku Rasulullah).

Atau yang lebih dahsyat dari itu bagaimana kedengkian Bani Hanifah (suku besar Musailimah al Kadzdzab) kepada Bani Mudhar (suku besar Rasulullah).

Seluruh orang yang kita sebutkan di atas awalnya adalah orang-orang mulia yang bersifat dengan sifat baik. Para pemilik akal cerdas yang menjadi rujukan. Hingga mereka dijadikan panutan dan pemuka masyarakat. Tapi sayang sekali, mereka jadi jahat justru ketika kebenaran dan hidayah datang menyapa.

Allah berfirmah dalam surat al Baqarah 109:

حسدا من عند أنفسهم من بعد ما تبين لهم الحق

"...karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka..."

Ya Allah, sucikan hati kami dari kedengkian yang menghitamkan hati nurani. Pertemukan kami dengan teman-teman yang saling mengingatkan untuk menjauhi sifat keji. Dan jauhkan kami dari orang-orang yang meracuni batin kami dengan perangai yang Engkau murkai.


*by Zulfi Akmal
(Al Azhar, Cairo)

Rabu, 02 April 2014

Memaafkan Akan Mengubah Masa Depan

Suatu hari Umar kedatangan kakak beradik yang melaporkan seorang pemuda karena telah membunuh ayah mereka. Mereka meminta qishash sebagai bentuk keadilan atas perbuatan pemuda tersebut. Pemuda itu hanya tertunduk penuh sesal mengakui perbuatannya di depan Sang Khalifah. Akan tetapi kedua kakak beradik tersebut bersikeras untuk tetap melanjutkan qishash.

"Maaf wahai Amirul Mukminin, kami
sangat menyayangi ayah kami." Potong kedua pemuda dengan mata merah antara
sedih dan marah ."

Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa yang dinilainya amanah, jujur dan bertanggung jawab kehabisan akal meyakinkan penggugat.

"Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakan qishash atasku. Aku ridha pada ketentuan Allah, hanya saja izinkan aku menunaikan semua amanah yang tertanggung dulu." Sang Pemuda berkata dengan tegar dan sopan. Dia berjanji akan kembali dalam waktu tiga hari. Namun kedua kakak beradik dan juga Umar belum bisa mengijinkan pemuda itu pergi. Harus ada jaminan yang jelas atasnya.

"Jadikan aku penjaminnya Amirul Mukminin!" sebuah suara berat dan berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Salman Al Farisi.

"Salman?" hardik Umar. "Demi Allah engkau belum mengenalnya! Demi Allah jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!"

"Pengenalanku padanya tak beda dengan pengenalanmu ya Umar, aku percaya padanya sebagaimana engkau mempercayainya." ujar Salman.

Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu dan menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman. Tiga hari berlalu sudah. Detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah. Penggugat mendecak kecewa. Semua hadirin
sangat mengkhawatirkan Salman. Mentari nyaris terbenam. Salman dengan tenang dan tawakal melangkah ke tempat Qishash. Isak pilu tertahan.Tetapi sesosok bayang
berlari terengah dalam temaram, terseok terjerembab lalu bangkit dan nyaris
merangkak. Pemuda itu dengan tubuh berpeluh dan nafas putus-putus ambruk ke
pangkuan Umar. "Maafkan aku hampir terlambat!" ujarnya.

"Urusan kaumku makan waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun dan terpaksa kutinggalkan, lalu kuberlari.."

"Demi Allah, bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?" ujar Umar sambil menenangkan dan memberinya minum."

"Supaya jangan sampai ada yang mengatakan di kalangan muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji." ujar terdakwa itu sambil tersenyum.

"Lalu kau Salman," ujar Umar berkaca-kaca, "Mengapa kau mau menjadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama sekali?"

"Agar jangan sampai dikatakan di kalangan muslimin tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban saudara," jawab Salman teguh.

"Allahu Akbar! Allah dan kaum muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya." Pekik sang penggugat sambil memeluk terdakwa.

"Mengapa kalian berbuat seperti itu?" Tanya Umar haru.

"Agar jangan ada yang merasa di kalangan kaum muslimin tak ada lagi kemaafan dan kasih sayang." sahut keduanya masih terisak."

Maha Suci Allah, begitu indah ajaran Islam. Di sana ada ukhuwah yang memancar indah. Di sana ada pemimpin yang tegas dan mau mendengarkan. Di sana ada hukum yang adil ditegakkan. Di sana ada kasih sayang dan kelembutan. Di sana ada kelapangan dan kemaafan. Dan seperti sebuah petuah bijak mengatakan, bahwa memafkan memang tidak akan bisa mengubah masa lalu, tapi ia akan mengubah masa depan.

Rabu, 05 Maret 2014

15 Tahun "Menari di Tengah Badai"



Oleh: Afrianto Daud
Mahasiswa Doktoral di Monash University, Australia

Suka atau tidak, semenjak kelahirannya partai yang sebelumnya bernama PK (Partai Keadilan) ini terus saja menjadi sorotan publik, menjadi buah bibir dan mungkin juga sering ‘dipergunjingkan’. PKS seperti tidak pernah kehabisan energi dan ide untuk tetap bisa membuat berita.

Setiap aksi, kebijakan, perilaku dan ucapan para politisinya tak jarang menimbulkan pro dan kontra, melahirkan sejuta cerita dengan nada warna warni; mulai dari puja puji pecinta sejatinya sampai caci maki para pembencinya. Terlalu banyak list untuk dibuat di sini terkait isu pro kontra dari partai yang lahir di era reformasi ini. Jika anda mengikuti berita politik Indonesia 15 tahun terakhir, anda pasti bisa menemukan sendiri contoh pro kontra yang saya maksud.

Sekali lagi, berjuta pasang mata terus memperhatikan aksi dan liukan tarian mereka di panggung politik Indonesia selama lima belas tahun itu. Jutaan jemari mungkin juga telah menari menuliskan namanya pada keyboard komputer, laptop, tablet dan sejenisnya. Karenanya, tak heran hasil riset Independent Research Institute (IRI) yang melakukan penelitian dan survey perbincangan tentang partai politik di sosial media periode Januari-Februari 2014 menyimpulkan bahwa PKS adalah salah satu partai populer yang banyak diperbincangkan di media sosial. Jika anda ketikkan kata kunci “PKS AND Partai” pada mesin pencari google, sedikitnya anda akan menemukan 9,000,000 entry dengan kata kunci ini.

Menariknya, partai ini tidak hanya dibahas dan menjadi perhatian banyak orang di dalam negeri, namun juga oleh banyak pengamat dan pemerhati politik Indonesia di luar negeri. Sebutlah diantaranya Dr. Karen Brook (Dosen di Cornel University-USA), Ellen Nakashima (jurnalis Washington Post), Sydney Jones (peneliti di International Crisis Group/ICG), atau Greg Barton (professor di Monash University, Australia). Mereka adalah para Indonesianis yang cukup sering membahas PKS.

Di dunia akademik, fenomena PKS juga telah mengilhami banyak sarjana untuk meneliti dan menganalisa fenomenanya secara ilmiah. Ratusan sarjana, dari S1 sampai S3 telah meneliti partai ini. Yang paling banyak dikutip adalah thesis doktoral Yon Machmudi (The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party/PKS), di Australian National University (ANU), dan juga thesis master pengamat politik terkenal, Burhanuddin Muhtadi, dari universitas yang sama. Analisa tentang fenomena PKS juga datang dari Najwa Shihab (presenter Metro TV), ketika dia bersekolah di Fakultas Hukum, Melbourne University.

PKS itu Beda

Populer di media atau di mesin pencari semisal google tentu tidak serta merta berarti bahwa partai ini adalah partai yang hebat. Karena bisa saja orang terkenal karena jeleknya ^^. Poin saya adalah, adalah fakta bahwa partai ini adalah ‘unik’ dan karenanya selalu menarik untuk dibicarakan. PKS adalah anak kandung reformasi, karena mayoritas aktivisnya adalah mereka para pelaku gerakan mahasiswa saat menumbangkan Suharto tahun 1998. Tidak hanya itu, terlahir dari rahim pergerakan adalah salah satu yang membuat partai ini berbeda dengan yang lain. Mereka membesar bukan karena bertumpu pada satu dua sosok yang dominan, namun pada sistem dan ideologi yang kuat. Inilah diantara alasan yang membuat mereka bisa bertahan dari pemilu ke pemilu, bisa selamat dari ‘tsunami SBY’ pada pemilu 2009, tetap eksis bahkan di tengah amuk badai - serangan dari ‘tujuh penjuru mata angin’ saat kasus LHI mencuat.

Ya, pengkaden yang sistemik dan ideologi keIslaman yang kental adalah kekuatan partai ini. Sebagaimana diakui oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Tjahjo Kumolo kepada media baru-baru ini, bahwa PKS dan PDIP adalah diantara sedikit partai dengan pola kaderisasi dan ideologi yang relatif baik. Di dua partai ini, sangat jarang ditemukan ada seseorang yang bisa ‘tiba-tiba’ menjadi petinggi struktural partai. Dari sisi ideologi, Anis Matta mengatkan bahwa PKS memiliki kader dengan mentalitas ‘pemburu surga’. Dari pilihan kata ini, anda bisa eksplor sendiri seberapa kuat dan dalamnya ideologi kader partai berlambang padi emas ini.

Dari aspek pengkaderan ini, PKS beruntung karena mereka behasil masuk dan diterima oleh kalangan menengah terdidik di masa-masa awal pendiriannya. Sebagaimana diungkap oleh Burhanuddin Muhtadi dan kemudian menjadi pengetahuan publik bahwa sejarah PKS tidak bisa dipisahkan dari gerakan tarbiyah yang booming di kampus-kampus besar (sekuler) Indonesia pada akhir 80-an atau awal 90an. Karenanya, mayoritas kader PKS itu dari dulu sampai sekarang adalah para mahasiswa. Anda yang kuliah pada tahuan 90-an (dan juga sekarang), mungkin pernah ‘bersentuhan’ dengan aktifitas tarbiyah mereka atau minimal berinteraksi dengan aktivis mereka. Sebagian anda bahkan mungkin pernah jadi kader, bertemu jodoh melalyu komunitas PKS, walau sekarang mungkin sudah gak lagi aktif (karena berbagai alasan) ^^. Sebagian lagi tentu masih banyak yang setia dengan manhaj dan cita-cita perjuangannya.

Para pelaku politik persis paham bahwa PKS adalah partai dengan kader mahasiswa dan sarjana terbanyak dibanding partai lain. Saya melihat para mahasiswa inilah kemudian yang berjasa besar membesarkan PKS sampai ke sudut-sudut kampung. Karena ketika mereka menjadi sarjana, sebagian mereka pulang, dan kemudian menyebarkan dakwah dan pemikiran mereka di kampung mereka. Dalam struktur ekonomi dan sosial kita, seringkali para sarjana inilah yang kemudian menjadi informal leader di kampung mereka. Pada saat yang sama, PKS pun kemudian dikenal dan menjadi pilihan di kampung-kampung itu. Inilah diantara faktor yang menjelaskan mengapa suara PKS pada pemilu 2009 tidak hanya relatif signifikan di perkotaan (sebagaimana pemilu 1999 dan 2004), tetapi juga menyebar ke berbagai pelosok kampung/desa.

Dari sisi ideologi,terobosan ideologi politik mereka (baca: ijtihad politik) yang memadukan antara dakwah yang suci dengan politik yang (biasanya dipersepsi) kotor adalah keunikan yang lain. Bahwa perjuangan mereka di panggung politik jauh melampaui tujuan-tujuan politik singkat, seperti sekedar meraih kekuasaan an sich. Karenanya inilah satu-satunya partai yang kadernya sering menolak jika ditawari (baca: dicalonkan) menjadi penguasa atau menjadi caleg saat pemilu. Inilah juga partai yang dengan mudah melakukan pergantian ketua umumnya, tanpa intrik dan atau kegaduhan seperti di partai lain.

Komunitas PKS adalah mereka yang sedang berusaha mempraktekkan nilai-nilai Islam yang syumul (komprehensif) di lembaga negara. Islam yang tidak hanya bicara masalah aqidah dan ibadah mahdah, namun juga bicara tentang aspek politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya. Mereka sedang dan terus belajar bagaimana menjadi pribadi muslim yang baik di level individu, namun juga terampil dalam mengelola negara dan pemerintahan, memakmurkan rakyat, dan sekaligus memperkenalkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Tidak hanya di panggung politik, jauh sebelum mendeklarasikan partai, parak aktifis dakwah tarbiyah itu juga menjadi bagian penting dalam gerakan islamisasi banyak aspek kehidupan di tanah air sejak awal tahun 80-an. Jika ditelesik, di bidang pendidikan, misalnya, kader mereka adalah diantara individu yang menjadi trend setter munculnya lembaga pendidikan Islam semisal Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) yang sekarang menjamur. Mereka juga bagian dari tumbuhnya semangat ekonomi Islam di tanah air, dengan munculnya Baitul Mal wa Tamwil (BMT) dan juga bank syariah. Belum lagi gerakan jilbab yang massif di kalangan muslimah dan alternatif seni serta literasi Islam pada tahun-tahun itu. Pelajarilah sejarahnya, saya yakin anda akan bertemu dengan cerita para kader gerakan dakwah tarbiyah ini di balik semua itu.

Doktrin untuk menjadikan dunia politik sebagai ladang dakwah di satu sisi adalah suatu hal yang ideal, namun di sisi lain dia juga menjadi ‘lubang semut’ yang kapan saja bisa menjadi bumerang bagi PKS. Terutama ketika partai ini dianggap ‘gagal’ menjalani misinya. Di titik inilah kita bisa memahami ‘kemarahan publik’ saat PKS juga terbawa-bawa kasus korupsi pada kasus LHI (walaupun saat ini kasusnya masih belum memiliki kekuatan hukum tetap).

Walau saya tentu juga setuju agar PKS jauh dari isu korupsi, namun alasan terakhir bagi saya adalah misleading. Orang beragama bisa saja salah atau khilaf. Sebagaimana orang yang berpuasa dan sholat juga kadang melakukan kesalahan (walau ideal teksnya tidak seharusnya begitu).

Statemen pemakluman terhadap kesalahan partai berbasis non agama juga bisa salah dipahami; bahwa seakan-akan partai dengan ideologi non agama (misal, kebangsaan dan nasionalis) boleh dan wajar jika korupsi, dan karenanya gak perlu dipelototi dan dimaki. Apa memang ideologi kebangsaan dan nasionalis serendah itu?

Menari di tengah badai

Proses membesarnya PKS tentu tidaklah mulus. Panggung politik adalah medan perang. Sejarah pertumbuhan PKS juga diwarnai berbagai serangan, demarketting, black campaign, dan fitnah. Baik yang datang dari kekuatan asing, rival sesama parpol, maupun dari kelompok yang secara ideologis berseberangan dengan ideologi Islam yang dibawa PKS. Parpol Golkar misalnya sudah lama memberi warning para fungsionarisnya tentang potensi ancaman dari PKS terhadap esksistensi mereka sebagai partai tua. Gesekan juga terjadi sesama aktivis ormas dan partai Islam, karena PKS dianggap ‘merebut’ lahan yang sama dengan mereka. Serangan yang paling kuat dan konstan biasanya datang dari aktivis liberal dan sekularis yang menganggap ideologi yang dibawa PKS mengancam eksistensi ideologi mereka.

Aktivis liberal dan kaum sekuler di Indonesia sepertinya tak pernah berhenti melancarkan serangan kepada partai ini. Isu yang paling banyak dilemparkan adalah bahwa PKS adalah partai yang eksklusif, Islam yang dibawa PKS adalah Islam yang tidak toleran dan tidak inklusif, atau menuduh PKS sebagai partai yang tidak memiliki jiwa Indonesia dan nasionalisme. Adalagi serangan dengan praktik pologami segelintir elit PKS, ataupun isu bahwa PKS membawa hidden agenda akan menjadikan Indonesia negara Islam.

Biasanya kader PKS menjawab segala tuduhan ini dengan kerja dan kerja. Bahwa di lapangan para aktivis mereka bisa bergaul dengan siapa saja, termasuk dengan mereka yang beda agama sekalipun – tentu dengan tidak harus menggadaikan aqidah. Tentang nasionalisme, saya yakin darah mereka dan cinta mereka terhadap Indonesia sama kuat dan merahnya dengan mereka para nasionalis sejati. Jika Indonesia hari ini diserang oleh asing misalnya, saya haqqul yakin, para kader PKSlah diantara mereka yang pertama angkat senjata jika diperintahkan negara untuk membela tanah air, sebagaimana dulu kemerdekaan Indonesia juga direbut dan diperjuangkan oleh pekikan Allah Akbar oleh para santri.

Terkait hidden agenda, para elit PKS semisal HNW dalam beberapa kesempatan sudah sering mengatkan bahwa bentuk negara bangsa dan Pancasila itu adalah final. Sydney Jones sendiri selain menyebut PKS sebagai partai paling cerdas, juga mengatakan bahwa PKS bukanlah partai radikal. Dia percaya bahwa PKS adalah partai yang commited menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Beberapa ceramah dan tulisan Anis Matta pada beberapa waktu terakhir yang membahas gelombang ketiga Indonesia juga menyiratkan bahwa bagi PKS pembahasan dan debat tentang sistem pemerintahan, pertanyaan tentang relasi agama dan negara itu sudah tidak relevan. Saatnya kita sebagai bangsa memasuki gelombang baru dimana semua kekuatan bangsa bersatu untuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup di bawah sistem demokrasi yang makin mapan.

Kalangan liberal juga menghantam ideologi transnasionalisme yang dibawa PKS, dimana kadang mereka seperti lebih peduli dengan saudara-saudara muslim yang jauh, seperti Palestina, dan mengabaikan saudara dekat yang juga butuh bantuan. Saya yakin tuduhan seperti ini lebih didasari sentimen ideologi, karena membantu saudara yang jauh tidak berarti melupkan saudara dekat. Jika pengkritik ini benar-benar paham PKS, maka seharusnya mereka tahu bahwa kader PKS adalah diantara kelompok yang hampir selalu ada bersama susah senangnya masyarakat. Para kader mereka selalu siaga dalam setiap aksi bantuan pasca bencana, misalnya. Anda bisa tanya kepada rakyat Aceh saat tsunami, siapa diantara kelompok pertama dan terakhir (yang paling lama bertahan) dalam membantu korban saat tragedi tsunami tahun 2004 lalu. Belum lagi banyak kader mereka yang menjadi relawan di lembaga-lembaga sosial seperti Dompet Dhuafa, Post Keadilan Peduli Ummat (PKPU), MERC, ataupun Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Kembali pada serangan tadi, pasca kasus LHI, banyak sekali suara sumbang yang meragukan eksistensi dan keberlangsungan PKS di masa datang, terutama (kembali) datang dari aktivis liberal dan beberapa kalangan kritis rasional yang menguasai sosial media. Bentuk sentimen dan sinisme para oposan ini bisa dengan mudah anda lacak di berbagai jaring socmed atau di situs berita online. Jika kelompok pertama membenci PKS karena alasan ideologis, kelompok kedua adalah mereka yang kecewa dengan beberapa fakta media terkait PKS yang mungkin masih bisa diperdebatkan.

Namun, ijinkan saya menyampaikan di sini bahwa mesin PKS terus saja bekerja dalam diam. Dengan cara mereka, PKS tetap bisa meliuk dan menari di tengah badai. Para oposan PKS mungkin bisa saja berteriak sampai ke langit di media sosial agar PKS mati, namun jantung kaderisasi PKS terus berdenyut. Jutaan kader mereka terus bekerja dan berkhidmat untuk negeri. Kader mereka yang diamanahkan di lembaga eksekutif terus membuat prestasi demi prestasi (Anda bisa telusuri sendiri deret panjang penghargaan yang diterime Aher dan Irwan Prayitno, misalnya). Gemuruh PKS, sekali lagi tidak hanya di media sosial, di perkotaan, namun juga melintas sungai dan pulau, lembah dan gunung, melewati samudera (sedikit lebbay ya :D). Jika eksistensi parpol itu dilihat dari pemerolehan suara pemilu dan pilkada, saat ini kader PKS dipercaya menjadi gubernur di empat propinsi: Sumbar, Jabar, Sumut, dan yang terbaru Maluku Utara.

Saya tentu tidak sedang mengatakan bahwa PKS sama sekali adalah zero masalah. Saya menyadari bahwa PKS bukanlah partai malaikat. Karenanya sangat mungkin melakukan kekeliruan dan kesalahan., baik di level individu maupun komunitas. Saya berharap nurani PKS bisa mendengar segala kebisingan masyarakat yang kritis terhadap PKS belakangan. Bahwa tidak semua mereka yang mengkritik itu karena benci, saya yakin juga karena cinta. Perbanyaklah mendengar, berefleksi, meresapi, dan membalas semuanya dengan perbaikan dan amal yang lebih baik.

Bagimana dengan adanya fakta bahwa sebagian kecil kader yang keluar (atau dikeluarkan)? Bagi saya sendiri hal itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Jangankan keluar dari PKS sebagai parpol, sejarah Islam justru juga diwarnai sebagian sahabat rasul yang keluar (murtad) dari Islam. Mereka yang murtad itu justru generasi yang pernah bertemu dan berinteraksi lansung dengan rasulullah SAW. Jika bahkan dari agamapun ada orang yang memutuskan keluar, apalagi hanya dari parpol semisal PKS. It is not a big deal sekali lagi. Saya tahu ada satu dua ustadz mantan pendiri PK yang ‘berijtihad’ untuk say good bye pada partai ini, namun pada saat yang sama ada ratusan atau mungkin ribuan ustadz yang tetap setia dan Insyallah terus ‘menjaga’ kapal dakwah bernama PKS ini agar tetap on the right track.Asumsi sederhananya, tidak mungkin 99 orang majlis syuro atau para asaatidz di dewan syariat yang memiliki pemahaman syariat yang baik akan membiarkan atau malah bersepakat berbuat maksiat atau melakukan sesuatu yang menabrak prinsip-prinsip syariat.

Memimpin Indonesia

Melihat karakter PKS yang unik, saya optimis bahwa partai ini akan terus membesar. Bukan tak mungkin, para kader partai inilah yang akan dominan mewarnai dinamika kepemimpinan nasional kita pada masa yang akan datang. Formula sederhananya, jika ingin melihat kepemimpinan Indonesia sepuluh tahun yang akan datang, maka lihatlah kepemimpinan lembaga kemahasiswaan di berbagai kampus hari ini.

Dulu kita bisa melihat bagaimana para kader HMI menguasai banyak lembaga kemahasiswaan di kampus pada era 80-an dan 90an awal. Sekitar sepuluh tahun kemudiaan, merekalah yang dominan mewarnai kepemimpinan nasional kita 10 tahun belakangan (anda bisa melihat fenomena ini dengan memperhatikan beragam tokoh yang mengunjungi Anas Urbaningrum dulu setelah menjadi tersangka, atau ketika Anas membuat PPI setelah itu - mereka adalah para kader HMI yang tersebar di banyak posisi).

Dan jika kita kembali ke kampus dan melihat fenomena kepemimpinan lembaga mahasiswa hari ini, suka atau tidak, anda akan menemukan bahwa mayoritas lembaga kemahasiswaan kampus itu, baik yang di Jawa maupun di luar Jawa, cukup banyak ‘dikuasai’ oleh para mahasiswa yang berideologi kanan, seperti PKS. Sejak pertengahan tahun 1990an, para mahasiswa yang secara ideologi berafiliasi dengan PKS ini berhasil menggeser dominasi aktivis HMI. Karenanya, sekali lagi, bukan tak mungkin, merekalah yang akan menjadi pemimpinan nasional lima atau sepuluh tahun yang akan datang.

Banyak memang yang meragukan bahwa cita-cita PKS untuk masuk tiga besar pada pemilu 2014 hanyalah impian belaka. Tapi seperti saya katakan, jutaan kader mereka terus bekerja dalam senyap. Ada yang dengan sinis bilang, ini tidak zamannya lagi memilih partai, tapi memilih tokoh. Iya, saya setuju. Saya bicara PKS di sini tidaklah dalam konteks PKS sebagai kardus kosong yang berisi ‘hantu blau’, tapi PKS sebagai kumpulan manusia dengan semua prestasi dan keunikan jutaan kadernya.

Tentu kita berharap bahwa jika memang PKS ditakdirkan menjadi pemimpin nasional, mereka bisa menjadi pemimpin yang amanah, yang membawa Indonesia menjadi lebih baik. Kita juga berharap bahwa PKS bisa memahami Indonesia yang plural. Jati diri Indonesia adalah keberagaman itu senidri. Karenanya, dalam mengelola negara dan pemerintahan PKS harus bisa menjalin kerjasama dengan semua golongan, termasuk dengan kelompok sekuler dan nasionalis. Indonesia yang majemuk tidak bisa dikelola oleh salah satu kelompok saja. Sekali lagi, PKS harus bisa bekerjasama dengan semua kekuatan bangsa dan bekerja untuk kepentingan semua golongan, tidak untuk kepentingan sempit kelompok tertentu, apalagi hanya untuk golongan PKS. Waktunya bagi PKS untuk memperkenalkan praktek Islam sebagai rahmatan lil alamin itu di lapangan, tidak hanya dikhutbahkan dari mimbar kajian para ustadz selama ini.Wallahu’alam.

__
sumber: Kompasiana

Popular Posts