Featured Article

Jumat, 31 Oktober 2014

Pengakuan: PKS Telah Mencuci Otak Saya!

 Banyak orang yang heran:
“PKS ini ngakunya partai antikorupsi. Tapi presidennya korupsi, mereka malah membela mati-matian. Otak mereka sudah dicuci kali, ya? Saya curiga, jangan-jangan di PKS itu ada proses pencucian otak!”
Hm…
Saya tertegun. Langsung ingat masa lalu. Ya, saya akui… Sebagai orang yang pernah jadi kader aktif di PKS, otak saya memang telah berhasil dicuci oleh PKS. Ya, PKS memang partai pencuci otak!
Kalau tak percaya, berikut saya ceritakan sejelas-jelasnya.

Ketika masih tinggal di Binjai, Sumatera Utara, saya hidup di lingkungan yang orang-orangnya kebanyakan cuma Islam KTP. Jarang yang shalat. Kalau ada yang rajin shalat, langsung dicap “sok suci.” Saya pun ketika itu bisa dikategorikan Islam KTP. Bahkan masih percaya pada dukun. Masih percaya ramalan bintang. Bahkan sabuk pinggang saya berukir zodiac sagitarius :-D

Tahun 1991, saya pindah ke Semarang karena diterima sebagai mahasiswa Universitas Diponegoro. Di sinilah untuk pertama kalinya saya menemukan banyak orang yang rajin shalat. Ketika jam istirahat, banyak teman yang mengajak saya shalat berjamaah. Terus terang, hal seperti ini belum pernah saya alami di Binjai dulu.

Alhamdulillah, pengetahuan dan wawasan keislaman saya jadi lebih baik setelah tinggal di Semarang. Tapi secara umum, saya masih liberal. Saya masih beranggapan bahwa pakai jilbab bagi muslimah itu tidak wajib. Saya masih beranggapan bahwa menerapkan ajaran islam itu bisa mempersulit hidup, bisa menghalangi rezeki.

Tapi berita baiknya, saya bisa berteman baik dengan teman-teman salafy dan ikhwanul muslimin. Walau beda aliran, anehnya kami sangat akrab. Saya iri pada mereka, ingin hidup yang penuh nuansa religius seperti mereka. Tapi saya merasa belum sanggup. Bahkan pada tahap tertentu, saya merasa beda prinsip dengan mereka.

Sampai lulus kuliah (tahun 1998), boleh dikatakan hidup saya masih bertahan seperti itu.
Perubahan yang mencolok mulai terjadi ketika saya sudah tinggal di Jakarta. Saat itu, saya masih lajang, dan sering bertemu dengan salah seorang sahabat masa kuliah, yakni Subhan Afifi. Sampai saat ini saya belum tahu aliran dia apa. Yang saya tahu, sewaktu kuliah Subhan ini termasuk anggota “islam jamaah” yang rajin ikut pengajian.

Dari Subhan-lah saya banyak mendapat pencerahan tentang Islam. Alhamdulillah. Terima kasih banyak untuk sahabatmu Subhan Afifi. Semoga kita nanti dipertemukan lagi di Surga. Aamiin :-)

Peristiwa BERSEJARAH (yang menjadi awal dari proses CUCI OTAK tersebut) pun terjadi sekitar tahun 2002. Saat itu, banyak kejadian dan ujian yang membuat jiwa saya labil. Tiba-tiba saya rindu agama, ingin menjadi orang yang lebih agamis, lebih religius, tapi belum tahu caranya.

Saat itulah, ada dua orang tetangga di Slipi yang memperkenalkan saya dengan pengajian PKS. Maka saya pun ikut. Itulah pertama kalinya saya ikut kegiatan tarbiyah, khususnya di PKS.

Di tarbiyah inilah, untuk pertama kalinya saya mendengar ceramah si murobbi, yang pernah saya tulis di sini:
“Salah satu prinsip tauhid adalah kita tidak boleh taqlid buta kepada siapapun, kecuali kepada Rasulullah. Walau dia ulama besar sekalipun, wali sekalipun, tetap tidak boleh. Sebab ulama dan wali sekalipun adalah manusia biasa. Mereka bukan orang suci dan pasti tidak terbebas dari dosa dan kesalahan. Sedangkan Rasulullah sudah dijamin oleh Allah sebagai manusia yang bebas dari dosa dan kesalahan. Ketika Rasulullah berbuat salah, langsung pada saat itu juga Allah menegurnya.”

Inilah prinsip yang akhirnya menyadarkan saya, dan Insya Allah akan terus saya jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan ketika saya sudah bergabung sebagai kader PKS pun, prinsip ini tetap saya pegang. Ketika para qiyadah PKS melakukan dan mengatakan hal-hal yang benar sesuai ajaran Islam, maka saya ikuti. Jika tidak sesuai, ya ngapain diikuti? Mereka cuma qiyadah. Mereka bukan nabi.

Hal ini saya buktikan ketika Pemilihan Presiden beberapa tahun lalu, saat PKS mendukung SBY. Menurut saya ketika itu, yang patut didukung adalah JK. Maka saya pun mendukung JK dan tak mau ketika diajak kampanye SBY.
Imam Hasan Al Banna (yang menjadi imam panutan teman2 PKS dan ikhwanul muslimin pada umumnya), pun mengatakan hal yang sama seperti kata murobbi saya di atas. Ucapan ini membuat saya berpikir:
“Berarti, bahkan Imam Hasan Al Banna sendiri pun, kita tak boleh mengikuti semua ucapannya 100%, kan? Sebab dia hanya ulama, dia bukan nabi.”
Pemikiran ini, alhamdulillah, bisa membuat pikiran saya lebih jernih dalam melihat kehidupan sehari-hari.
Dari pengajian PKS - antara lain - saya mulai paham, bahwa ternyata banyak dukun berkedok agama, banyak orang yang lebih patuh terhadap pemimpin partai atau pemimpin ormasnya ketimbang terhadap Rasulullah, banyak orang yang lebih percaya kepada aturan dan sistem buatan manusia ketimbang buatan Allah.

Dari PKS-lah, alhamdulillah, saya akhirnya banyak mendapat pencerahan tentang Islam yang sebenarnya.
PKS beda dari partai-partai lain. Di partai lain, mereka hanya sibuk mengurus politik. Di PKS, ada kegiatan baksos, ada pembinaan kader, ada pengajian mingguan yang membuat ruhani kita selalu di-charge, agar iman dan aqidah tetap terjaga.

Inilah sebabnya, kenapa kader PKS itu umumnya militan, taat beribadah, dan religius.
NB: Jika Anda berpendapat bahwa di PKS pun ada koruptor, ada orang bejat, dst… ya ini bisa panjang ceritanya jika didiskusikan.

Jawaban singkat:
Kalaupun ada orang yang seperti itu di PKS, berarti ini membuktikan bahwa PKS bukan lembaga malaikat.  Yang jelas, di PKS itu ada sistem yang baik: Barang siapa yang ketahuan korupsi misalnya, langsung dipecat. Bahkan LHI yang belum terbukti pun, langsung mundur dari jabatan Presiden PKS.
Jadi terlepas dari ada tidaknya koruptor atau orang bejat lainnya di PKS, yang jelas PKS adalah partai yang paling bersih, dan sistemnya paling baik di Indonesia.

* * *
Memang saya akui, PKS tidak identik dengan Islam. Jadi, saya tidak sedang berkata bahwa yang di luar PKS bukan Islam. Hehehe… naif sekali kalau ada yang berpendapat seperti itu!
Islam itu bisa ada di mana-mana. Dan PKS hanyalah salah satu lembaga yang berusaha mengislamkan dirinya.
Saya termasuk yang percaya bahwa haroqah atau mazhab atau aliran apapun di dalam Islam, semua itu buatan manusia, semua itu hasil pemikiran manusia. Pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Termasuk PKS pun demikian.

Karena itu, saya tak mau hanya belajar agama di PKS. Saya juga rajin mendengarkan ceramah-ceramah di radio Rodja FM yang dikelola oleh teman-teman Salafy. Saya juga mengakui, bahwa teman-teman HTI itu hebat, karena mereka sangat rajin berkampanya untuk tegaknya khilafah. Seorang kakak kandung saya ikut jamaah MMI, dan saya pernah mendengarkan ceramah ustadznya. Secara umum saya simpati dan kagum pada mereka.

Saya percaya bahwa harokah atau aliran apapun di dalam Islam itu hanya buatan manusia, pasti ada kekurangannya. Yang sempurna itu hanya Islam. Karena itu, yang saya jadikan sebagai pedoman hidup adalah Islam. PKS hanya alat menuju tujuan Islam yang indah.

Saya ingin meletakkan PKS di tangan, bukan di hati. Mengenai belajar Islam, saya ingin belajar di mana saja, bukan hanya di PKS. Karena kebenaran bisa ditemukan di manapun. Bahkan di tempat maksiat pun, seringkali kita temukan kebenaran.

“Jika Islam tidak hanya ada di PKS, kenapa kamu memilih PKS, bukan yang lain?” Mungkin ada di antara Anda yang berkata demikian.

Jawabnya:
Karena SECARA PRIBADI saya menilai bahwa PKS yang paling moderat dibanding yang lain. Itu saja. Dan saya menghormati teman2 dari harokah lain. Sebab walau berbeda, saya yakin tujuan kita semua sama: Kejayaan Islam. Jadi buat apa saling menyalahkan dan mempermasalahkan perbedaan?

* * *
Kembali soal kasus LHI. Kenapa saya membela beliau?
Hal ini pun sudah saya jelaskan di sini. Berikut kutipannya:
Dan hari ini, saya bersama para kader PKS lainnya membela LHI. Padahal banyak orang yang berkata bahwa LHI koruptor. Kenapa? Apakah saya sudah berubah? Apakah saya sudah tidak percaya pada prinsip yang tertulis di atas? Insya Allah saya masih percaya. Prinsip itu masih saya pegang hingga hari ini.
Saya membela LHI karena saya percaya padanya. Sampai hari ini, belum ada satu bukti pun yang menunjukkan bahwa beliau bersalah. Bahkan seperti yang kita saksikan sendiri, banyak sekali kejanggalan pada kasus ini.
* * *
Jadi teman-teman sekalian,
Itulah pengakuan saya mengenai PKS yang telah berhasil mencuci otak saya. Itulah bukti bahwa PKS merupakan partai pencuci otak!!!

Otak saya yang awalnya masih banyak dipenuhi pemikiran-pemikiran liberal, masih percaya dukun, masih lebih percaya hukum manusia ketimbang hukum buatan Allah, dan sebagainya, alhamdulillah sekarang saya merasa hidup lebih bahagia. Walau hidup saya masih penuh dengan maksiat (dan saya selalu berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik), tapi alhamdulillah saya merasa makin memahami Islam yang sebenarnya, setelah saya bergabung dengan PKS.

Jadi, bagi Anda yang tidak mau jadi korban berikutnya, tidak mau jadi korban cuci otak PKS, waspadalah! Jangan dekati PKS. Ini partai yang sangat berbahaya!

NB: Ini salah satu bukti lainnya tentang cuci otak ala PKS: Klik di sini :-)
Wassalam!
Jonru
Founder dan CEO Dapur Buku
Cara Baru Menerbitkan Buku

http://politik.kompasiana.com/2013/05/17/pengakuan-pks-telah-mencuci-otak-saya-560900.html

Minggu, 19 Oktober 2014

Kala PKS Mempratekkan Marxisme



KETIKA orang orang Kiri masih sibuk menalar Marx (dan Marxisme), PKS [Partai Keadilan Sejahtera] telah lama mempratekkannya. Ini merupakan ironi, kalau tak bisa disebut keterbelakangan kalangan Kiri di Indonesia.

Dalam menalar Marx, dengan buih buih ala katolikisme Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, ajaran Marx berubah menjadi doa kudus yang dilantumkan dengan merdu di kapel yang terletak di tengah tengah padang rumput. Tentu saja lengkap dengan seorang gembala duduk di bawah pohon ek, meniup seruling yang terbuat dari bunga tebu, untuk menambah efek syahdu. Sementara, seorang gadis yang payudaranya mulai mengkal merenda topi di depan jendela. Lengkap sudah. Marxisme menjadi litani yang dinyanyikan saat diri kering akan harapan.

Pun, Marxisme berubah seperti pelajaran seorang romo pastur di sekolah minggu. Penuh dengan janji janji surgawi. Membuat anak anak membayangkan seperti apa singasana Tuhan Yesus Kritus yang penuh welas asih itu. Wajah bocah bocah itu melongo, sebagian ileran karena terpukau oleh bualan sang pastur. Tak mengherankan kalau Marxisme menjadi dangkal, persis pelajaran semester satu di sekolah pasturan [Sama yang terjadi di program Religi dan Budaya di sebuah pergeruan tinggi Jesuit di tengah kota Yogya. Marxisme diajarkan oleh romo romo yang patah hati. Mengajar sembari berkata: “Sakitnya tuh di sini.” Sambil menunjuk lubang pantat].

Yang disampaikan tak akan jauh apakah Marx itu dipengaruhi Hegel atau Mbah Maridjan; ia condong ke Aristoteles atau Julia Perez; ia seorang determinis atau seorang pengagum keris; basis menentukan suprastruktur atau bis mempengaruhi kendoktur. Itu itu juga. Dimamah biak dari subuh ke subuh. Agar lebih khidmat dibicarakan sambil menenggak bir di cafe cafe.

Tapi tak apalah. Pelajaran Marxisme semacam itu memang diperlukan untuk memperoleh titel S2 atau yang sederajat. Pun, diperlukan dalam ceramah ceramah basa basi. Maka agar bisa memukau, sebanyak banyaknya ditampilkan kutipan dan catatan kaki [kalau perlu dari bahasa Latin dan Jerman]. Semakin orang tak paham, maka akan dianggap sebagai jagoan Marxist. Oh, ya. Jangan lupa dilengkapi bagan agar lebih ilmiah dan wah.

Marxisme memang ada dua tipe; sekolahan/ceramahan atau jalanan. Silakan pilih sendiri.

Sementara itu, PKS telah jauh menerapkan ajaran Marx. PKS tak sibuk dengan yang ada di kepala (menalar). Mereka bergelut dengan situasi politik yang ada. Berada di tengah tengah pusaran pertarungan demokrasi borjuis nan liberal. Mulai dari pemilihan ketua RT sampai presiden, PKS terlibat. Kalah dan menang sudah dialami. Dijepit dan digencet sudah biasa. Dari situlah mereka semakin lihai mempratekkan Marxisme. Mulai dari membangun partai, berpropaganda, aksi, kaderisasi, sampai bertarung di arena demokrasi borjuis, tak pernah dilewatkan. Semua yang ditulis Marx sudah diterapkan.

Karena ketimpangan itulah menyebabkan perbedaan yang senjang dalam menjawab problem politik (dan yang lainnya). Ketika orang orang Kiri gaduh tentang UU Pilkada, misalnya, karena hobinya masih sebatas menalar Marx, semua didasarkan romantisme yang ada di kepala: bahwa rakyat bla bla; bahwa rakyat telah dibli bli. Dst. Semuanya didasari oleh perasaan romantik sebagai pejuang rakyat, bukan berlandaskan kebutuhan politik organisasi.

Tak perlu terkejut kalau rakyat yang disebut oleh Kiri kiri tersebut, tak lebih sebatas rakyat yang ada di kepala [maklum baru sebatas menalar rakyat]. Karena apa? Mereka tak pernah berada di tengah tengah rakyat [akibat sibuk menalar tadi]. Tak mengherankan kalau dalil dan dalih yang digunakan untuk berargumentasi hanya sebatas andaian dari hasil asyik masyuk bernalar. Dengan slogan cartesian ala pasar Turi: Aku menalar maka aku Marxist.

Tentu berbeda dengan PKS. Ketika mereka menyebut rakyat sudah jelas yang dimaksud: orang yang ada di pasar, masjid, sekolahan, pabrik, perkantoran, bantaran sungai, sawah, pangkalan ojek, mimbar mimbar pengajian sampai warteg. Selama ini mereka berada di tengah rakyat. Tahu yang dipikirkan dan diinginkan rakyat. Punya kader kader yang bernapas bersama rakyat. Dan, satu yang pasti: mereka telah ratusan kali terlibat pertarungan dalam Pilkada.

Dari kasus Pilkada tadi, lewat pratek pengorganisiran dan politik yang dijalankan dengan rapi, PKS punya landasan kuat untuk mengambil keputusan apakah Pilkada dilakukan langsung atau tidak. Semua disandarkan pada kerja politik sehari hari. Mereka mempunyai hitung hitungan yang ditimba dari deretan pengalaman. Bukan berangkat dari andaian, tapi berdasarkan kebutuhan politik yang nyata. Dan tentu saja, kepentingan menjadikan partai mereka berkuasa di tingkat lokal.

Sementara itu, Kiri kiri ala Driyarkara masih sibuk (sekali lagi) menalar Marx. Kemana mereka selama 10 tahun ini ketika Pilkada langsung dijalankan? Apakah mereka ikut bertarung untuk memperebutkan jabatan gubernur atau bupati? Apa yang dilakukan selain sekadar menjadi tim sukses berbaju sukarelawan dengan bayaran recehan? [seperti yang dilakukan si Botak dari Blora dan Kalibata, si Cebol dari Solo atau si Crewet dari Silir; sekarang beralih profesi sebagai panitia festival, konser, yang semuanya ada kata rakyat; sembari mimpi bahwa itu semua vergadering ala Serikat Islam cabang Semarang zaman Semaun].

Sebetulnya sederhana untuk menguji mana yang benar-benar didukung rakyat. Pilih saja satu orang Kiri yang paling jago dalam menalar Marx untuk bertarung dengan kader PKS dalam pemilihan ketua RT di gang Samali, misalnya. Tanpa dijelaskan, hasilnya sudah diketahui mana yang akan jadi pemenang [memang dalam kasus tertentu ada kader Kiri di Cilebut bisa jadi ketua RT. Ia bisa menang karena tidak ada calon dari PKS dan dalam kampanyenya berjanji akan menyediakan hasil unduhan dari google translate pada bapak bapak secara gratis].

Itu hanya satu contoh kesenjangan dalam menghadapi problem politik antara PKS dengan Kiri penalar Marx. Silakan cari contoh yang lain, maka kita akan bertambah malu karena mengetahui betapa terbelakanganya kaum Kiri di Indonesia.

Pada akhirnya yang disampaikan Marx sederhana: buatlah wadah politik (partai) dan bertarunglah. Marx tak pernah pusing apakah buruh paham Aristoteles atau tidak. Tak penting buruh mengerti Hegel atau tidak. Marx hanya bilang:”Kaum buruh seluruh dunia. Bersatulah!”

Lereng Merapi. 18.10.2014 
Ragil Nugroho

Rabu, 15 Oktober 2014

Tentang Atheis

Di suatu pagi seorang gila berlari ke pasar lalu berteriak:”Aku mencari Tuhan ! Aku mencari Tuhan”. Orang lalu berkerumun menontonnya. “Memangnya, Tuhan pergi ke mana, Dia lari atau pindah rumah?” Tanya seorang penonton di pasar itu sinis. Orang gila itu menatap tajam semua orang yang monontonya di pasar itu lalu bertanya “Coba [terka] kemana Tuhan pergi? Tak ada jawaban. Orang gila itu menjawab sendiri “Aku mau mengatakan kepada kalian. Kita telah membunuhnya. Ya kita semua telah membunuhnya!”

Kisah diatas hanyalah metaforika Nietszche (1844-1900), filosof proklamator kematian Tuhan di Barat. Metafora ini tentu menjengkelkan. Jangankan membunuh Tuhan, membunuh makhluk saja dianggap jahat. Tapi Nietszche juga jengkel pada sesuatu yang disebut Tuhan. Tuhan baginya hanya ada dalam pikiran. Tuhan tidak wujud diluar sana. Ia memang ateis tulen. Lho, kalau begitu Tuhan yang mana yang ia bunuh? Sebentar!!

Ateisme a la Nietszche bukan tanpa preseden. Orang Barat nampaknya sudah lama gerah dengan agama. “Siapapun yang beragama pasti tidak bebas”, kata Nietszche. Agama dianggap mengebiri kebebasan. Dulu menjadi sekuler pun susah, apalagi ateis. Sedikit-sedikit dituduh ateis. Ateis bahkan hampir seperti plesetan dan penghinaan. “Kamu ateis!” sama maksudnya dengan “Kamu anarkis! Kamu komunis!” Ateis malah bisa berarti sifat orang tidak saleh. Munafik, pendosa yang merasa suci, berani dan bangga,  bagi John Wingfield adalah ateis. Bagi dramawan Inggeris, Thomas Nashe (1567-1601), ambisius, tamak, rakus, sombong dan pezina termasuk ateis. Lebih menggelikan lagi standar Penyair William Vaughan (1577-1641), tandanya ateis yang nyata adalah menaikkan sewa rumah. Pendek kata semua yang buruk adalah ateis.

Ateis yang agak akademis adalah yang kritis pada teologi Kristen dan institusi gereja. Giordano Bruno (1548-1600), tokoh rasionalis Italia, Pierre Carvin, Pendeta Robinson, pengarang Honest to God, Paul Tillich, pengarang Sytematic Theology, Schleirmacher (1768-1834) tokoh hermenutika adalah pengkritik teologi Kristen dan dianggap ateis.

Ateis yang lebih canggih adalah yang berani menggugat Tuhan. Inkar saja tidak cukup jadi hero. Inkar harus dibumbui caci-maki, jadilah blasphemy. ”Tuhan Yahudi dan Kristen adalah tiran” kata Hegel (1770-1831) dan Kant (1724-1804), karena minta ketaatan penuh. Schoopenhuer (1788-1860) mendahului Nietszche menegaskan tuhan tidak ada. Sesudah Nietszche membunuh tuhan, Rudolf Bultmann, (1884-1976) penulis New Testament and Mythology, memastikan “Tuhan dalam Bible telah mati, kalau tidak sekarat”. Tuhan bagi mereka adalah tirani jiwa “the stodgy old tyrant of the soul“.  Bukan Tuhan agama-agama, karena Ia dianggap sudah tidak ada. Inilah Tuhan yang dibunuh Nietszche itu.

ِMengapa orang Barat bangga dan bernafsu menjadi ateis? Michael Buckley menjawab dengan buku ilmiyah yang ia beri judul At the Origins of Modern Atheism - 1987 – (Asal Usul Kekafiran Modern). Meskipun kafir tapi modern, meskipun modern tapi kafir, mungkin begitu plesetannya. Buckley membahasnya secara analitis, serius dan komprehensif. James E Force memuji buku ini sebagai “big, bold [and] highly readable book”.

Ateisme muncul di awal era modern, kata Michael karena teologi Kristen tunduk pada filsafat (Christian theology becomes subservient to philosophical reason). Biang keladinya adalah pemikir dan filosof yang ia juluki  new rationalistic defender of faith atau rationalistic philosophers,  seperti Lessius, Mersenne, Descartes (1596-16500, Malebranche, Newton (1642-1727) dan Clarke. Mereka bicara tentang Tuhan tanpa bicara tentang Yesus.

Bukan hanya itu, kata James. Ateisme, wujud juga gara-gara merebaknya gerakan kritik terhadap Bible. Dari sejarah penulisannya, konsepnya tentang Tuhan dan akhirnya eksistensi Tuhan itu sendiri. Pengkritik Bible biasanya berlindung dibawah paham Deisme. Deist percaya pada Tuhan dengan akal, bukan lewat Bible. Tokoh-tookoh Deis Inggeris adalah Spinoza, Bruno, Thomas Hobbes, Richard Simon dan lain-lain. Semuanya adalah tokoh-tokoh rasionalis. David Berman dalam bukunya A History of Atheism in Britain: From Hobbes to Russel, setuju dengan James. Deisme adalah biang keladi ateisme. Ateisme modern lahir karena akarnya diremehkan, dicurigai dan terkadang dianggap sepi oleh para teolog yang merasa terancam.
Ateisme dipicu oleh kebencian terhadap dan kebebasan (liberalisme) dari agama.  “Now hatred is by far the greatest pleasure“, kata Don Juan. Karena itu banyak cara menjadi kafir. Ada yang inkar Tuhan saja (atheis), ada yang inkar agama saja (infidel) dan ada yang menolak pengetahuan tentang Tuhan dan eksistensiNya sekaligus (agnostic). Ada yang meragukan wahyu Tuhan (skeptic), dan ada yang menolak Bible sebagai wahyu Tuhan (deist). Tapi ada juga yang menolak wahyu secara intelektual, yaitu disbeliever. Untuk yang minat inkar Tuhan dengan akal dan hatinya, ia bisa memilih cara unbeliever. (lihat The New International Webster Comprehensive Dictionary.hal. 1177).  Banyak jalan menjadi kafir.

Dalam Islam kakufuran itu satu paket. Kufur pada rukun yang manapun tepat kafir. Sebab satu rukun berkaitan dengan rukun yang lain. Dalam al-Qur’an inkar Allah (al-Nahl 106-107), inkar pada ayat-ayat Allah (Israil  98; Maryam 73), atau menolak wahyu yang diturunkan (Muhammad 9; al-Hajj 72), adalah kafir. Malah beriman pada Allah tapi kufur pada Nabi (al-Nisa’ 150-151), sama saja, tetap kafir.

Lucunya Muslim juga terigiur shopping menu ateisme. Fovoritnya adalah menu skeptic, disbeliever dan agnostic. Iman pada al-Qur’an di Lauh Mahfuz, tapi skeptik pada al-Qur’an yang diturunkan. Mensucikan maknanya tapi melecehkan huruf dan mushafnya. Ngaku beriman tapi ragu apakah bisa memahami Allah, mirip doktrin credo et intelegam. Jika mahasiswanya berani bertanya ”mana epistemologi Tuhan?” dosennya malah dengan arogan menulis tesis ”Menggugat Wahyu Tuhan”. Jika di Barat memprotes gereja melahirkan ateisme, disini malah ada yang memprovokasi, ”agar maju tirulah Protestan!” Maksudnya agar maju hujatlah tradisi agama (sunnah). Supaya bisa menapaki thesis Weber dari Protestan menjadi kapitalis.

Jadi persepesi James benar. Ini adalah fenomena intelektual modern (modern intellectual phenomenon), bukan keagamaan atau sosial. Problemnya ada pada cendekiawan. Intelektualitas diadu dengan religiusitas, filsafat dengan teologi dan agama dengan sains. Mestinya kompromistis, integratif alias tawhidi. Tapi masalahnya, konsep tawhid tidak built in dalam teologi agama itu. Dalam buku Dialog between Theology and Philosophy, kalimat pertama yang ditulis adalah keraguan Tertulian ”Apa ya yang bisa dikongsi antara Athena dan Jerussalem, antara Akademi dan Gereja? Jawabnya tidak ada dan karena itu dialog antara teologi dan filsafat berbahaya.

Memang para teolog tidak siap dialog, kata Karen Armstrong dalam A History of God. Tapi filosof dan saintis terus menggugat dan memberangus agama. Motonya mudah ”Bicaralah ilmu apa saja asal jangan membawa-bawa Tuhan”. Kalau bicara Tuhan dalam sains anda salah kamar. Sorry sir, this is a science not theology! Teori-teori Ludwig Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich Nietszche dan Sigmund Freud pun tidak memberi ruang untuk Tuhan. Arnold E Loen lalu menulis buku Secularization, Science Without God. Dunia ini bagi saintis adalah godless (tanpa tuhan). Sains yang bicara Tuhan ia tidak obyektif lagi. Here we must disagree, tulis Arnold tegas. Baru sekuler saja sudah menyingkirkan Tuhan, apalagi ateis. Tapi karena teolog terpojok, maka stigma “kamu ateis!” bisa berimplikasi “kamu saintis!” Itulah modern atheism.

”Tuhan” di Barat ternyata tidak hanya dihabisi di gereja-gereja, tapi juga di kampus-kampus. Mungkin karena tidak ada ilmu dalam teologi akhirnya tidak ada tuhan dalam ilmu (godless). Jadi ateis  dizaman modern adalah ateis epistemologi. Orang menjadi ateis bukan hanya karena lemah iman, tapi juga salah ilmu. Ilmunya tidak menambah imannya. Epistemologinya tidak teologis dan teologinya tidak epistemologis. Dalam Islam, hati yang tak berzikir adalah mati, dan otak yang tidak bertafakkur akan kufur. Jika beriman pada Tuhan adalah fitrah semua insan, maka ketika Nietszche membunuh Tuhan – dalam hati dan pikirannya – sejatinya ia telah membunuh fitrahnya sendiri. Jadi Nietszche benar-benar telah melakukan bunuh diri spiritual, spiritual suicide. Subhanallah.
Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi
Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)

Popular Posts