Minggu, 19 Oktober 2014

Kala PKS Mempratekkan Marxisme



KETIKA orang orang Kiri masih sibuk menalar Marx (dan Marxisme), PKS [Partai Keadilan Sejahtera] telah lama mempratekkannya. Ini merupakan ironi, kalau tak bisa disebut keterbelakangan kalangan Kiri di Indonesia.

Dalam menalar Marx, dengan buih buih ala katolikisme Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, ajaran Marx berubah menjadi doa kudus yang dilantumkan dengan merdu di kapel yang terletak di tengah tengah padang rumput. Tentu saja lengkap dengan seorang gembala duduk di bawah pohon ek, meniup seruling yang terbuat dari bunga tebu, untuk menambah efek syahdu. Sementara, seorang gadis yang payudaranya mulai mengkal merenda topi di depan jendela. Lengkap sudah. Marxisme menjadi litani yang dinyanyikan saat diri kering akan harapan.

Pun, Marxisme berubah seperti pelajaran seorang romo pastur di sekolah minggu. Penuh dengan janji janji surgawi. Membuat anak anak membayangkan seperti apa singasana Tuhan Yesus Kritus yang penuh welas asih itu. Wajah bocah bocah itu melongo, sebagian ileran karena terpukau oleh bualan sang pastur. Tak mengherankan kalau Marxisme menjadi dangkal, persis pelajaran semester satu di sekolah pasturan [Sama yang terjadi di program Religi dan Budaya di sebuah pergeruan tinggi Jesuit di tengah kota Yogya. Marxisme diajarkan oleh romo romo yang patah hati. Mengajar sembari berkata: “Sakitnya tuh di sini.” Sambil menunjuk lubang pantat].

Yang disampaikan tak akan jauh apakah Marx itu dipengaruhi Hegel atau Mbah Maridjan; ia condong ke Aristoteles atau Julia Perez; ia seorang determinis atau seorang pengagum keris; basis menentukan suprastruktur atau bis mempengaruhi kendoktur. Itu itu juga. Dimamah biak dari subuh ke subuh. Agar lebih khidmat dibicarakan sambil menenggak bir di cafe cafe.

Tapi tak apalah. Pelajaran Marxisme semacam itu memang diperlukan untuk memperoleh titel S2 atau yang sederajat. Pun, diperlukan dalam ceramah ceramah basa basi. Maka agar bisa memukau, sebanyak banyaknya ditampilkan kutipan dan catatan kaki [kalau perlu dari bahasa Latin dan Jerman]. Semakin orang tak paham, maka akan dianggap sebagai jagoan Marxist. Oh, ya. Jangan lupa dilengkapi bagan agar lebih ilmiah dan wah.

Marxisme memang ada dua tipe; sekolahan/ceramahan atau jalanan. Silakan pilih sendiri.

Sementara itu, PKS telah jauh menerapkan ajaran Marx. PKS tak sibuk dengan yang ada di kepala (menalar). Mereka bergelut dengan situasi politik yang ada. Berada di tengah tengah pusaran pertarungan demokrasi borjuis nan liberal. Mulai dari pemilihan ketua RT sampai presiden, PKS terlibat. Kalah dan menang sudah dialami. Dijepit dan digencet sudah biasa. Dari situlah mereka semakin lihai mempratekkan Marxisme. Mulai dari membangun partai, berpropaganda, aksi, kaderisasi, sampai bertarung di arena demokrasi borjuis, tak pernah dilewatkan. Semua yang ditulis Marx sudah diterapkan.

Karena ketimpangan itulah menyebabkan perbedaan yang senjang dalam menjawab problem politik (dan yang lainnya). Ketika orang orang Kiri gaduh tentang UU Pilkada, misalnya, karena hobinya masih sebatas menalar Marx, semua didasarkan romantisme yang ada di kepala: bahwa rakyat bla bla; bahwa rakyat telah dibli bli. Dst. Semuanya didasari oleh perasaan romantik sebagai pejuang rakyat, bukan berlandaskan kebutuhan politik organisasi.

Tak perlu terkejut kalau rakyat yang disebut oleh Kiri kiri tersebut, tak lebih sebatas rakyat yang ada di kepala [maklum baru sebatas menalar rakyat]. Karena apa? Mereka tak pernah berada di tengah tengah rakyat [akibat sibuk menalar tadi]. Tak mengherankan kalau dalil dan dalih yang digunakan untuk berargumentasi hanya sebatas andaian dari hasil asyik masyuk bernalar. Dengan slogan cartesian ala pasar Turi: Aku menalar maka aku Marxist.

Tentu berbeda dengan PKS. Ketika mereka menyebut rakyat sudah jelas yang dimaksud: orang yang ada di pasar, masjid, sekolahan, pabrik, perkantoran, bantaran sungai, sawah, pangkalan ojek, mimbar mimbar pengajian sampai warteg. Selama ini mereka berada di tengah rakyat. Tahu yang dipikirkan dan diinginkan rakyat. Punya kader kader yang bernapas bersama rakyat. Dan, satu yang pasti: mereka telah ratusan kali terlibat pertarungan dalam Pilkada.

Dari kasus Pilkada tadi, lewat pratek pengorganisiran dan politik yang dijalankan dengan rapi, PKS punya landasan kuat untuk mengambil keputusan apakah Pilkada dilakukan langsung atau tidak. Semua disandarkan pada kerja politik sehari hari. Mereka mempunyai hitung hitungan yang ditimba dari deretan pengalaman. Bukan berangkat dari andaian, tapi berdasarkan kebutuhan politik yang nyata. Dan tentu saja, kepentingan menjadikan partai mereka berkuasa di tingkat lokal.

Sementara itu, Kiri kiri ala Driyarkara masih sibuk (sekali lagi) menalar Marx. Kemana mereka selama 10 tahun ini ketika Pilkada langsung dijalankan? Apakah mereka ikut bertarung untuk memperebutkan jabatan gubernur atau bupati? Apa yang dilakukan selain sekadar menjadi tim sukses berbaju sukarelawan dengan bayaran recehan? [seperti yang dilakukan si Botak dari Blora dan Kalibata, si Cebol dari Solo atau si Crewet dari Silir; sekarang beralih profesi sebagai panitia festival, konser, yang semuanya ada kata rakyat; sembari mimpi bahwa itu semua vergadering ala Serikat Islam cabang Semarang zaman Semaun].

Sebetulnya sederhana untuk menguji mana yang benar-benar didukung rakyat. Pilih saja satu orang Kiri yang paling jago dalam menalar Marx untuk bertarung dengan kader PKS dalam pemilihan ketua RT di gang Samali, misalnya. Tanpa dijelaskan, hasilnya sudah diketahui mana yang akan jadi pemenang [memang dalam kasus tertentu ada kader Kiri di Cilebut bisa jadi ketua RT. Ia bisa menang karena tidak ada calon dari PKS dan dalam kampanyenya berjanji akan menyediakan hasil unduhan dari google translate pada bapak bapak secara gratis].

Itu hanya satu contoh kesenjangan dalam menghadapi problem politik antara PKS dengan Kiri penalar Marx. Silakan cari contoh yang lain, maka kita akan bertambah malu karena mengetahui betapa terbelakanganya kaum Kiri di Indonesia.

Pada akhirnya yang disampaikan Marx sederhana: buatlah wadah politik (partai) dan bertarunglah. Marx tak pernah pusing apakah buruh paham Aristoteles atau tidak. Tak penting buruh mengerti Hegel atau tidak. Marx hanya bilang:”Kaum buruh seluruh dunia. Bersatulah!”

Lereng Merapi. 18.10.2014 
Ragil Nugroho

0 komentar:

Posting Komentar