"Anis Matta di Mataku"
by Wahid Nugroho
Colin Imber dalam bukunya yang berjudul The Ottoman Empire mengatakan
bahwa, di masa lalu, informasi tertulis mengenai kerajaan Ottoman tidak
banyak didapati, bahkan di kalangan sejarawan Muslim dan para pencatat
sejarah di kalangan Ottoman sendiri. Caroline Finkel dalam Osman’s Dream
pun mengamininya. Terbatasnya sumber-sumber bacaan berbahasa latin yang
membahas dunia Ottoman secara mendetail menjadi salah satu faktor
mengapa kajian tentang kekhalifahan islam terbesar sepanjang sejarah ini
cukup sulit untuk didapati di masa lalu.
Jikapun ada, sumber-sumber itu kebanyakan berupa cerita dari mulut-mulut
yang kebenarannya sulit untuk dibuktikan. Namun, dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin terbukanya dunia saat ini,
bahan-bahan yang awalnya sangat sulit didapat itu perlahan mulai
membuka dirinya satu demi satu. Apalagi sejak kejatuhan kekhalifahan
Ottoman pada tahun 1920an yang lalu.
Tulisan ini tidak akan membahas tentang kedua buku di atas, berhubung
saya belum selesai membaca keduanya – entah kapan selesainya –, tulisan
ini juga tidak ingin membahas tentang Ottoman dengan segala kerumitan
dan kebesaran sejarahnya, tapi tulisan ini akan membicarakan hal yang
lain. Preambule di atas anggap saja sedikit usaha saya untuk membuat
Anda, pembaca, sedikit terkesan dengan saya.
Beberapa hari yang lalu, saya menelepon bulek saya di Jakarta dengan
sebuah misi: menanyakan keberadaan koleksi Majalah Ummi jadulnya beliau
yang lumayan lengkap. Buat apa majalah yang ditujukan khusus untuk
muslimah itu bagi saya yang lelaki tulen ini? Ehem. Jadi begini. Saya
tidak malu untuk mengakui bahwa saya pernah menjadi pembaca setia
majalah itu, termasuk tabloid NOVA yang dulu rutin dibeli ibu saya.
Khusus Majalah Ummi, rubrik yang paling saya tunggu itu ada dua:
Permata, yang memang ditujukan buat anak-anak; dan Kolom Ayah. Kolom
Ayah? Ya, benar. Walaupun saya masih SD ketika itu, tapi Kolom Ayah
selalu menjadi rubrik yang saya tunggu-tunggu kehadirannya.
Dari Kolom Ayah inilah saya kemudian mengenal satu nama yang belakangan
jadi cukup tenar karena pidato-pidatonya yang menyihir serta mampu
membakar semangat pendengarnya. Nama itu adalah Muhammad Anis Matta.
Seorang politikus muda yang saat ini diamanahi sebagai Presiden PKS
menggantikan Luthfi Hasan Ishaq yang terkena badai fitnah korupsi – yang
kebenaran dan perkembangan kasusnya masih sama-sama kita (saya) tunggu
sampai saat ini.
Awalnya saya cukup terkejut dengan proses pemilihan yang sangat singkat
itu. Keterkejutan saya bersumber dari elektabilitas beliau di mata
publik secara umum yang tidak terlalu menggembirakan. Kenapa bukan
Hidayat Nur Wahid yang notabene lebih populer di masyarakat? Dahi
masyarakat Indonesia secara umum pasti akan berkerut bila disodorkan
nama Anis Matta, meski tidak berlaku bagi para aktivis gerakan Islam
yang sudah mengetahui kiprah beliau selama ini. Selain itu, menarik pula
untuk diketahui bersama, apakah ide-ide segar yang selama ini hinggap
di setiap tulisan dan ceramahnya bisa diejawantahkan untuk menahkodai
sebuah partai sebesar PKS yang ketika itu – mengambil redaksi dari
beberapa media mainstream – sedang dilanda prahara besar.
Pemikiran Anis Matta, menurut saya, seperti udara. Ia cerkas bergerak
dan meliuk kesana dan kemari. Orang yang terbiasa berpikir linear tentu
akan cukup sulit untuk mengikuti gaya berpikirnya. Tak jarang
statemennya berbuah kontroversi bagi banyak kalangan, termasuk di
internal Partai Keadilan Sejahtera, yang kita tahu berbasis kader-kader
militan dan terpelajar. Referensinya sungguh kaya dan sumber bacaannya
sangat mencengangkan. Belakangan dari sebuah berita diketahui bahwa Anis
Matta merupakan pelahap buku kelas kakap. Bil khusus buku-buku sejarah
dan biografi tokoh-tokoh dunia. Itulah sebabnya pidato-pidato dan
tulisan beliau sangat renyah dibaca dan memiliki jangkauan audiens yang
sangat luas. Di samping itu, Anis juga merupakan pencinta sastra. Tak
heran bila untaian kata-katanya yang membara itu terkadang beraroma
romantis, kadang melankolis.
Kembali ke Majalah Ummi.
Saya termasuk anak ingusan yang cukup beruntung karena dipertemukan
dengan tulisan-tulisan beliau tatkala membidani Kolom Ayah di Majalah
Ummi ketika itu. Tulisan-tulisan yang sedianya ditujukan untuk
orang-orang yang berumur jauh di atas saya itu seperti menyihir akal
bocah ingusan seperti saya. Darinya saya mengenal puisi-puisi indah
karangan Iqbal dan Sapardi Djoko Damono yang kerap diselipkan dalam
setiap tulisannya. Dan karenanya pula saya jadi jatuh cinta dengan dunia
seni dan sastra. Sejak saat itu, saya telah memutuskan diri untuk
menjadi penggemar tulisan-tulisannya.
Waktu berlalu beberapa tahun. Saya pun dipertemukan kembali dengan
tulisan Anis Matta. Kali ini bukan lagi di Majalah Ummi, tapi di Majalah
Tarbawi yang saya temukan di Mushola SMUN 90 ketika itu. Serial
Kepahlawanan, begitu judul rubrik terbarunya. Di tahun-tahun itu pula
saya bersinggungan dengan tulisan beliau lainnya di Majalah Saksi dan
Suara Hidayatullah. Tapi berhubung saya tidak terlalu cerdas untuk
melahap tulisan-tulisan bertema politik yang berat, saya memutuskan
untuk membaca rubrik Serial Kepahlawanan dan rubrik Assasiyat yang
diasuh oleh Almarhum Rahmat Abdullah di Majalah Tarbawi kala itu. Dan
sejak itu pula saya mengumpulkan majalah-majalah Tarbawi yang kerap
dibagikan gratis setiap ada perayaan hari-hari besar Islam di sekolah.
Ketika Serial Kepahlawanan di Majalah Tarbawi selesai, dan digantikan
dengan Serial Cinta, saya memiliki ide untuk mengumpulkan
tulisan-tulisan beliau dalam satu bundel. Maka mulailah saya
memfotokopinya dari setiap edisi yang saya miliki, dan yang saya pinjam
dari teman, menjadi satu bundel tersendiri – bersamaan dengan bundel
kolom Assasiyat-nya Almarhum Rahmat Abdullah.
Semasa kuliah, kegemaran saya akan tulisan-tulisannya yang memukau masih
berlanjut. Ada banyak sekali buku-buku beliau. Di antaranya adalah:
1. Mencari Kepahlawanan [Tarbawi Press]
2. Serial Cinta [Tarbawi Press]
3. Model Manusia Muslim [Asy Syaamil dan belakangan diterbitkan oleh Progressio]
4. Setiap Saat Bersama Allah [I’tisham]
5. Menuju Cahaya [Fitrah Rabbani]
6. Sebelum Anda Mengambil Keputusan Besar Itu [Asy Syaamil]
7. Delapan Mata Air Kecemerlangan [Tarbawi Press]
8. Biar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga [Ummi]
9. Arsitek Peradaban [Fitrah Rabbani]
10. Dari Gerakan Ke Negara [Fitrah Rabbani]
11. Demi Hidup Lebih Baik [Cakrawala Publishing]
12. Dan masih banyak lagi
Uniknya, Anis Matta pernah berkata dalam sebuah wawancara bahwa salah
satu impiannya yang sulit untuk diwujudkan karena kesibukannya adalah
menulis sebuah buku. Lalu, buku-buku di atas itu berasal dari mana?
Buku-buku itu ternyata berasal dari tulisan-tulisan dan ceramah beliau
yang tersebar di beberapa majalah dan kaset yang akhirnya disatukan dan
dibukukan.
Di masa-masa itu, saya juga berinteraksi dengan ceramah-ceramah beliau
yang tersebar di dunia maya yang jumlahnya cukup banyak dan temanya yang
beragam. Beberapa ceramah yang kerap saya dengar secara berulang adalah
Membangun Mahligai Pernikahan, Manajemen Waktu, Penyerbuan Pasukan
Gajah (tafsir tematik dari surat Al Fiil), dan masih banyak lagi.
Sampai hari ini, saya masih sering membaca kembali tulisan-tulisan serta
mendengarkan ceramah-ceramah lawasnya. Seiring perkembangan dunia
politik tanah air, saya pun tak lupa pula mengumpulkan beberapa video
orasi-orasi beliau yang menyihir itu. Mulai dari orasi politik paska
pengangkatan dirinya sebagai Presiden PKS, sampai yang terakhir ketika
beliau berbicara tentang cinta dan harmoni di Jawa Tengah.
Saya selalu merasa ada banyak hal baru yang bisa diambil dari setiap
orasinya yang memesona, meski semangat dan luapan cintanya tetap sama
dengan takaran yang makin lama makin menguat. Tulisan ini bukan untuk
memuji secara membabi-buta akan sosok Anis Matta. Bagaimanapun, ia
tetaplah seorang tokoh yang punya kekurangan sebagai manusia biasa. Ada
yang menyebutnya sebagai seorang yang hedonis karena gaya hidupnya yang
jauh dari kata sederhana, dan sebutan minor lainnya. Namun saya
bergeming dengan ungkapan-ungkapan minor itu. Bagaimanapun, beliau
adalah salah satu aset berharga, dari sekian banyak aset, yang dimiliki
bangsa ini untuk bisa keluar dari krisis yang tengah melandanya. Saya
rasa, ini saat yang tepat untuk membuktikan teori dan ide beliau di
buku-buku serta ceramah dan kajian yang pernah dibuatnya ke dalam ranah
amal nyata.
Apa yang sedang dilakukan oleh Anis Matta saat ini: menyelamatkan
bahtera partai dari serangan badai politik dan membalikkan prediksi para
pengamat politik yang mengatakan bahwa PKS sudah habis serta
ditinggalkan kader dan konstituennya, kemudian membersamai rentetan
pilkada di negeri ini yang datang silih berganti dengan orasi-orasinya
yang memukau dan menyihir para pendengarnya, serta marathon persiapan
PKS dalam berjuang di kancah jihad politik berjudul Pemilu 2014, seakan
hendak menahbiskan dirinya sebagai sosok “pahlawan yang dirindu” yang
pernah ditulisnya dalam buku Mencari Pahlawan Indonesia, utamanya bagi
para pendukung dan kader PKS, serta masyarakat yang mulai memperhatikan
segenap gerak-geriknya. Saya termasuk salah satu anak bangsa ini yang
hendak menitipkan secuil harapan akan perbaikan bangsa ini di atas
pundaknya. Bisa jadi ini sesuatu yang naif, bisa jadi saya terlalu
berlebihan. Bisa jadi.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip sepotong tulisannya yang saya ambil dari buku Mencari Pahlawan Indonesia:
"Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dan beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata : "Jadilah pahlawan itu".
[wahidnugroho.com]
0 komentar:
Posting Komentar